Nukilan.id – Mantan Presiden RI, Joko Widodo mencanangkan program lumbung pangan atau food estate sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Program ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dan PSN 2020-2024. Program food estate merupakan kebijakan pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan secara terintegrasi.
Dikutip Nukilan dari Indonesia.go.id, program ini bertujuan untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan berkualitas untuk masyarakat dan memaksimalisasikan produksi dalam negeri. Produksinya meliputi padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, daging, gula, jeruk, kelapa, dan lain-lain.
Pelaksanaan proyek lumbung pangan sendiri tersebar di sejumlah wilayah, seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timurd, dan Papua. Sementara penggarap proyek dilakukan oleh lintas kementerian yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Presiden Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto sebagai pimpinan proyek lumbung pangan ini untuk kawasan Kalimantan Tengah. Pengembangan food estate di Kalimantan Tengah ini telah dilaksanakan sejak pertengahan 2020 di areal lahan persawahan yang sudah ada sekitar 30 ribu hektare yang tersebut di Kabupaten Pulau Pisang seluas 10 ribu hektare dan Kabupaten Kapuas seluas 20 ribu hektare. Dalam perkembangannya, proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah diperluas menjadi 44.135 hektare pada 2021 lalu.
Menhan Prabowo Subianto menegaskan bahwa kementeriannya hanya menjadi pendukung dalam pengerjaan lumbung pangan ini dan menyebutkan bahwa Kementerian Pertanian tetap akan menjadi penggerak utamanya.
Mengulangi Kesalahan yang Sama
Proyek food estate yang dijalankan Jokowi ini bukanlah program yang baru di Indonesia. Dilansir dari litbangkespangandaran.litbang.kemkes.go.id, proyek ketahanan pangan ini sudah dilakukan sejak era Presiden Soeharto. Program ini meliputi tiga periode, yaitu food estate era 1, food estate era 2, dan food estate era 3.
Program food estate era 1 dimulai sejak tahun 1995 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995 di mana Presiden Soeharto melaksanakan Proyek Lahan gambut (PLG) sejuta hektare sawah di Kalimantan Tengah. Lantaran kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut dalam PLG ini yang mengakibatkan kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan, proyek ini diputuskan gagal dan berakhir pada tahun 1998 melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Food estate era 1 ini menghabiskan anggaran sekitar Rp1,7 triliun.
Food estate era 2 dilakukan kembali pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membentuk program Merauke Integrated Energy Estate (MIFEE) pada 2010 silam melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Program MIFEE ini membuka lahan untuk mencetak sawah seluas 1,2 hektare di Merauke, Papua. Program ini juga berakhir gagal lantaran hutan sagu rakyat menjadi rusak dan menjadi sulit mencari bahan makanan seperti sagu, ikan, dan babi setelah hutan-hutannya dikonversi. Belakangan, lokasi food estate dipindahkan pemerintah dengan membuka lahan baru di Kalimantan Utara pada 2011 dan Program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat pada 2013. Lagi-lagi program ini gagal karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya dan kurangnya ketersediaan infrastruktur pendukung.
Sementara program food estate era 3 dimulai pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dengan program 30 ribu hektare sawah di Kalimantan Tengah pada 2020. Kedua dengan dibukanya lahan perkebunan singkong seluas 31 ribu hektare di kawasan Gunung Mas, Kalimantan Tengah pada 2021. Hutan alam seluas 15 ribu hektare dibabat untuk melaksanakan proyek ini. Akibatnya, ketika sebanyak 600 hektare hutan alam ditebas mengakibatkan terlepasnya 61 ribu ton karbon yang berdampak pada terjadinya banjir di beberapa daerah yang sebelumnya tak pernah dilanda banjir.
Ketiga yaitu dibukanya lumbung pangan seluas 30 ribu hektare di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Lahan yang dibuka kemudian diberikan kepada petani yang belum memiliki lahan. Namun pengelolaan dan pengadaan alat, bahan, bibit, dan pupuk diserahkan pemerintah kepada perusahaan swasta. Sementara bibit yang diberikan pada petani digunakan untuk keperluan industri alih-alih pemenuhan pangan rakyat. Alhasil program ini pun gagal lantaran hasil panen tak sesuai ekspektasi dan petani memilih untuk menjual hasil panen ke pasar karena harganya lebih mahal.
Namun saat ini ketika Prabowo Subianto telah dilantik menjadi Presiden RI ke-8, bagaimanakah nasib PSN food estate ini?
Terbengkalai dan Tak Produktif
Pascapelantikan sebagai presiden, Prabowo Subianto tampaknya akan melanjutkan kembali proyek lumbung pangan ini. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Fajarini Puntodewi yang mengatakan bahwa swasembada pangan merupakan program prioritas dari Prabowo Subianto. Kemendag menyebutkan Presiden Prabowo telah menyiapkan lokasi lumbung pangan demi mewujudkan swasembada pangan di Indonesia.
“Kalau rencana periode ke depan itu kan swasembada pangan menjadi prioritas dari Bapak Presiden terpilih sehingga sudah disiapkan lokasi-lokasi untuk menjadi lumbung pangan kita, yang mudah-mudahan itu bisa terlaksana,” kata Fajarini di Jakarta, dikutip dari Bisnis, Kamis (17/10/2024).
Namun, temuan yang didapatkan oleh Pantau Gambut yang memantau 30 area ekstensifikasi proyek food estate di 19 desa di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang pada 2020-2023 menunjukkan lahan proyek yang terbengkalai, tak produktif, dan sudah ditumbuhi semak belukar. Bahkan, ratusan hektare lahan beralih menjadi perkebunan sawit swasta. Para petani juga sudah menyerah menanam padi di lahan tersebut karena selalu berakhir gagal panen.
Selain itu, Pantau Gambut juga menemukan ada lahan food estate yang tumpang tindih dengan izin hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit swasta di Desa Tajipan dan Palingkau Asri seluas 274 hektare, sebagaimana dilansir dari BBC, Jumat (18/10/2024).
Dalam laporan Tempo berjudul “Proyek Food Estate Merauke Belum Punya Amdal. Kok Bisa?” disebutkan bahwa dua pejabat di KLHK mengatakan bahwa pembukaan hutan di Merauke belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Padahal, jika merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang berada di dalam atau berbatasan dengan hutan lindung wajib memiliki dokumen Amdal sebelumnya.
Akibatnya, proyek lumbung pangan ini mendapatkan penolakan dari masyarakat adat Merauke, Papua Selatan. Dikutip Tempo, salah seorang masyarakat adat Merauke, Pastor Pius Cornelius Manu dalam aksi demonstrasi di Jakarta, Rabu (16/10/2024) mengatakan bahwa proyek lumbung pangan ini berlangsung “brutal”, tanpa ada sosialisasi, dan tanpa didahului dengan konsultasi untuk mendapatkan kesepakatan persetujuan dari masyarakat adat.
Dalam wawancara terpisah dengan BBC, Pastor Pius Cornelius Manu menyebutkan pengembangan PSN Food Estate seluas dua juta hektare di Merauke, Papua Selatan membuat masyarakat adat ketakutan karena selain khawatir dengan ancaman perampasan ruang hidup, mereka juga terkena ‘teror’ dengan kehadiran pasukan TNI di kawasan proyek tersebut. Aktivis HAM dan akademisi mengkritik pendekatan ini dan mengatakan bahwa pengerahan prajurit militer hanya akan memunculkan kekerasan baru dan melanggar tugas dan fungsi pokok TNI sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7 Undang-undang (UU) TNI Tahun 2004.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut proyek food estate yang dicanangkan oleh Menhan Prabowo Subianto tak terlaksana dengan baik dan merupakan kejahatan lingkungan.
“Dalam praktiknya, kebijakan itu ternyata disalahgunakan, kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terlaksana dengan baik. Itu merupakan suatu kejahatan terhadap lingkungan,” kata Hasto di Bogor, dikutip dari Tempo, Selasa (15/8/2023).
Sementara Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan menyatakan bahwa panen jagung food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang hanya menghasilkan sekitar 25 ton merupakan bukti nyata food estate sebagai proyek gagal dan hanya “membuang-buang anggaran.” Sebagai informasi, proyek food estate jagung di lahan tersebut telah menghabiskan anggaran sebesar Rp54 miliar untuk proses penanamannya dan menelan anggaran yang membengkak hingga Rp1,5 triliun untuk pembukaan lahannya.
Kritik senada disampaikan pengamat pertanian Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian. Menurut Eliza, PSN Food Estate sejauh ini masih belum berhasil meningkatkan produktivitas pertanian. Dia mencontohkan kasus petani di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang dipaksa untuk menanam bawang di lahannya sehingga menghilangkan mata pencaharian utama mereka seperti menanam padi, kopi, andaliman, dan sebagainya.
“Jika PSN Food Estate berhasil semestinya impor berkurang dalam tiga tahun terakhir, namun ternyata tidak. Artinya masih belum berdampak signifikan,” tutur Eliza, dilansir Kontan, Jumat (12/1/2024). ***
Reporter: Sammy