Nukilan.id – Pertemuan pertama para menteri lingkungan hidup negara-negara G20 (Environmental Deputies Meeting-EDM) dan juga kelompok kerja keberlanjutan iklim (Climate Sustainability Working Group) telah berakhir. Dalam pertemuan itu Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar menyebut G20 dapat menjadi momentum untuk aksi bersama yang tegas dalam rangka memperoleh solusi bagi tiga krisis global, yaitu krisis iklim, keanekaragaman hayati yang terancam punah, dan over populasi.
Ada tiga isu prioritas yang diangkat dalam EDM-CSWG itu, yakni mendukung pemulihan yang berkelanjutan, meningkatkan aksi berbasis darat dan laut untuk tujuan perlindungan iklim, dan mobilisasi sumber daya untuk mendukung tujuan lingkungan dan iklim.
Kelompok Kerja C20 untuk Lingkungan Keadilan Iklim, dan Transisi Energi atau Environment, Climate Justice and Energi Transition Working Group (ECEWG) berpandangan tiga isu itu saja kurang. Agar dapat bangkit dan pulih bersama, diperlukan adanya penekanan dalam sejumlah isu.
Isu pertama, menghentikan dan mengembalikan hilangnya hutan global serta degradasi lahan harus menjadi bagian utama dari rencana aksi negara G20 untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. Melindungi bentang hutan alam yang tersisa dan juga mempercepat restorasi ekosistem vital tidak hanya akan memberikan manfaat bagi mitigasi iklim, tetapi juga akan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan menciptakan keberlanjutan bagi air.
Selain itu, hal ini akan memberikan mekanisme adaptasi yang sangat dibutuhkan oleh kelompok rentan dalam menghadapi resiko hilangnya sumber penghidupan, kerusakan properti, serta hambatan untuk dapat pulih dari pandemi.
“Menjamin adanya pendanaan yang cukup serta kebijakan yang memungkinkan adanya praktik adaptasi berbasis ekosistem dan sistem pertanian yang berkelanjutan dengan partisipasi penuh dari kelompok rentan menjadi suatu agenda yang harus diprioritaskan,” kata Kelompok Kerja ECEWG C20 dalam siaran pers yang diterima, Minggu (27/3/2022).
Isu kedua, mengurangi produksi plastik harus menjadi salah satu aksi prioritas dalam menangani permasalahan polusi plastik global, termasuk permasalahan sampah laut. Oleh karena itu, kami mendukung gagasan negara-negara G20 dalam menyuarakan perlunya perjanjian internasional untuk meregulasi polusi sampah plastik dengan pendekatan solusi siklus hidup, dimana pengurangan polusi plastik dimulai dari sumbernya.
Ketiga, ECEWG C20 yakin tidak ada pemulihan berkelanjutan tanpa adanya pendekatan yang berdasarkan inklusivitas dan pemenuhan hak. Menghormati hak asasi manusia dan memprioritaskan aksi untuk melindungi kelompok rentan seperti rumah tangga berpenghasilan rendah, lansia, pemuda/i, perempuan, penyandang disabilitas, petani kecil, dan masyarakat adat.
“Mereka harus dilibatkan dalam rencana aksi pemulihan ekonomi serta mitigasi dan adaptasi. Pun mereka juga harus diprioritaskan dalam akses pendanaan. Hal ini termasuk dalam rangka memenuhi janji untuk meningkatkan pendanaan bagi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat serta komunitas lokal, sebagaimana tertuang dalam IPLC Forest Tenure Joint Statement pada COP26 di Glasgow.”
Terakhir, ECEWG ingin menekankan salah satu karakteristik dari presidensi G20 Indonesia yang telah disampaikan oleh Sherpa beberapa bulan yang lalu, yaitu inklusivitas dan representasi yang seimbang.
“Kami menghargai inisiasi presidensi G20 Indonesia dalam hal inklusivitas, tetapi kami berharap pertemuan EDM-CSWG juga memberikan ruang bagi perwakilan masyarakat sipil sebagai salah satu perwujudan inklusivitas tersebut.”
“Dalam rangka memaksimalkan keterwakilan dari masyarakat sipil, kami akan senang jika EDM-CSWG dapat mempertimbangkan permintaan kami untuk dapat menggelar diskusi bersama mengenai isu prioritas dan juga menyampaikan rekomendasi kami untuk isu iklim dan lingkungan.” [Betahita]