NUKILAN.id | Opini – Debat perdana pemilihan gubernur Aceh kali ini mempertemukan dua visi besar tentang kelangsungan Dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Aceh. Bustami Hamzah dan pasangan calon Muzakir Manaf alias Mualem, keduanya menunjukkan ambisi kuat memperjuangkan perpanjangan dana tersebut yang, jika tidak ada intervensi hukum, akan berakhir pada 2027. Namun, di tengah klaim kedekatan dengan Presiden dan janji-janji pengawalan dana otsus, kita perlu bertanya: siapakah yang menawarkan peta jalan yang realistis?
Di atas panggung debat, Bustami secara gamblang menyebutkan pentingnya menempuh jalur formal melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk memperpanjang Otsus. Bustami tampak menyadari bahwa setiap perpanjangan memerlukan dasar hukum yang jelas, mengingat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh secara eksplisit mengatur durasi dana otsus untuk Aceh, yaitu dua dekade. Pernyataannya cukup tegas, “Jangan klaim mengklaim. Saya akan menghadap presiden minta Perpu pengganti undang-undang untuk perpanjangan Otsus Aceh.”
Sementara itu, pasangan 02, yang diwakili oleh Fadhlullah, pendamping Mualem, menonjolkan hubungan dan komunikasi langsung dengan Presiden sebagai kunci memperpanjang dana tersebut. Baginya, kedekatan politik akan memudahkan lobi-lobi seperti yang pernah diwujudkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat memimpin. Tidak tanggung-tanggung, Fadhlullah menyebutkan bahwa Partai Demokrat, yang berperan penting dalam era SBY, kini bersama mereka.
Namun, klaim semata—meski menggiurkan—tidak memberikan jaminan. Dalam konteks keuangan negara, APBN 2025 diprediksi akan kembali mengalami defisit sekitar 3 persen, angka yang sangat tinggi sepanjang sejarah transisi. Defisit ini diperparah oleh ambisi Presiden RI mendatang untuk menggenjot program kesejahteraan besar-besaran, seperti makan bergizi, susu gratis, dan pembangunan rumah rakyat. Pertanyaan besarnya adalah: mampukah negara menambah beban fiskal dengan perpanjangan Otsus untuk Aceh di tengah keterbatasan anggaran?
Belajar dari Papua, Mungkinkah Aceh?
Papua pernah menempuh jalur serupa dengan mendapatkan perpanjangan dana Otsus hingga 2041, termasuk kenaikan alokasi menjadi 2,25 persen dengan perbaikan tata kelola. Hal ini hanya mungkin melalui revisi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pemerintah kala itu bahkan mengeluarkan Perpu yang kemudian disahkan menjadi UU demi menjaga kesinambungan dana otsus bagi Papua. Bagi Aceh, hal serupa bisa ditempuh. Namun, keberhasilan Papua bukanlah garansi. Papua dan Aceh memiliki konteks dan tekanan politik yang berbeda, dan perubahan regulasi harus mempertimbangkan kesesuaian dengan kondisi sosial-ekonomi Aceh saat ini.
Janji Perpanjangan: Sebatas Narasi atau Rencana Konkret?
Tidak dapat dipungkiri, janji-janji perpanjangan dana Otsus kerap menjadi instrumen politis dalam menggaet simpati rakyat Aceh. Hampir setiap calon presiden Pilpres 2024—dari Prabowo Subianto, Anies Baswedan, hingga Muhaimin Iskandar—telah melontarkan janji untuk memperpanjang, bahkan meningkatkan, dana Otsus bagi Aceh. Muhaimin, misalnya, bahkan menyebut diksi “Dana Otsus Aceh Abadi,” yang akan diperpanjang “sampai kiamat.” Namun, tanpa peta jalan yang jelas, janji ini berpotensi sekadar menjadi narasi yang hilang ketika prioritas politik bergeser.
Di sisi lain, pasangan Bustami berfokus pada mekanisme formal seperti Perpu untuk memperjuangkan dana tersebut. Langkah ini dapat menjadi strategi yang lebih kredibel jika, dan hanya jika, diikuti dengan lobi intensif ke Presiden dan DPR. Sayangnya, baik Bustami maupun Mualem belum menunjukkan rencana konkret dalam menghadapi tekanan fiskal yang akan dihadapi APBN mendatang. Dengan adanya ambisi besar pemerintah untuk mengalokasikan anggaran ke sektor lain, tuntutan perpanjangan Otsus untuk Aceh bisa jadi menghadapi tantangan yang lebih berat.
Jalan Menuju Kepastian
Melihat kondisi ini, mungkin sudah waktunya bagi para pemimpin Aceh untuk berani berbicara tentang peningkatan tata kelola dana Otsus secara transparan, sehingga bukti nyata kontribusi otsus dapat meyakinkan pemerintah pusat. Tata kelola dana yang kuat dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat Aceh akan menjadi justifikasi utama jika Aceh mengajukan perpanjangan.
Mengandalkan klaim kedekatan atau pendekatan politik semata mungkin hanya akan mengarahkan kita pada kekecewaan. Yang lebih dibutuhkan Aceh adalah strategi yang konkret dan pendekatan formal yang dapat menjamin keberlanjutan dana otsus dengan mempertimbangkan keadaan fiskal nasional.
Baik Bustami maupun Mualem, jika ingin menjaga kesinambungan pembangunan Aceh pasca-2027, perlu menyusun strategi yang lebih berfokus pada realitas, bukan sekadar mengandalkan retorika. (XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)