NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Setiap tanggal 10 Muharram dalam penanggalan Islam, masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang terus hidup dari generasi ke generasi: memasak dan membagikan Bubur Asyura. Tradisi ini bukan sekadar soal makanan, melainkan warisan budaya yang sarat makna sejarah, religius, dan sosial.
Dikutip Nukilan.id dari berbagai literatur, Bubur Asyura berbeda dengan bubur pada umumnya. Hidangan ini kaya rasa karena terbuat dari beragam bahan seperti biji-bijian, umbi-umbian, santan, rempah-rempah, dan pemanis alami seperti gula merah. Di beberapa daerah, bubur ini juga ditambahkan potongan buah, taburan bawang goreng, atau lauk sederhana seperti ikan asin, menjadikannya simbol keberagaman yang berpadu dalam satu mangkuk rasa.
Namun yang menjadikan tradisi ini istimewa bukan hanya bahan atau rasanya. Lebih dari itu, Bubur Asyura adalah simbol kebersamaan. Di desa-desa dan meunasah (mushala) di seluruh Aceh, warga bergotong royong sejak pagi buta, mengaduk bubur dalam belanga besar sambil berbagi tawa dan cerita.
Jejak Sejarah dan Makna Keagamaan
Tradisi ini berakar dari kisah Nabi Musa AS yang selamat dari kejaran Firaun, sebagaimana diyakini terjadi pada hari Asyura, 10 Muharram. Momentum ini kemudian dijadikan momen syukur dalam bentuk berbagi makanan. Dalam konteks Aceh, hari Asyura juga menjadi waktu untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam serta merefleksikan nilai-nilai kehidupan.
Masyarakat Aceh meyakini bahwa keberagaman bahan dalam Bubur Asyura adalah lambang persatuan dalam perbedaan. Setiap bahan, seberapa kecil pun perannya, tetap memberi kontribusi dalam menciptakan rasa yang utuh – sebagaimana kehidupan bermasyarakat yang harus dirajut dalam semangat gotong royong dan toleransi.
Tak hanya itu, Bubur Asyura juga kerap disajikan saat berbuka puasa sunah Asyura. Banyak warga yang melaksanakan puasa sunah 10 Muharram (Asyura), dan Bubur Asyura menjadi hidangan pembuka yang sarat makna – menyatukan ibadah spiritual dan budaya lokal dalam satu suapan.
Ajang Sosial dan Pengikat Komunitas
Setelah matang, Bubur Asyura tidak dinikmati sendiri. Justru inti dari tradisi ini adalah berbagi: kepada tetangga, kaum fakir miskin, anak yatim, dan kerabat. Kegiatan ini memperkuat nilai solidaritas dan sedekah, serta menjadi pengingat bahwa hari besar dalam Islam bukan hanya untuk ibadah spiritual, tapi juga sosial.
Tak jarang, momen ini juga menjadi ruang rekonsiliasi sosial – tempat berkumpulnya kembali warga yang lama tak berjumpa, memperkuat kembali tali silaturahmi yang sempat longgar karena kesibukan harian.
Membumikan Nilai, Melestarikan Warisan
Di tengah arus modernisasi dan perubahan gaya hidup masyarakat, tradisi Bubur Asyura tetap bertahan. Bahkan di beberapa tempat, generasi muda mulai mengambil peran lebih besar, menjadikannya tidak hanya sebagai rutinitas tahunan, tapi juga bentuk pelestarian budaya lokal yang bernilai tinggi.
Tradisi ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai keislaman secara kontekstual dan membumi, terlebih kepada anak-anak muda yang tumbuh di era digital.
Lebih dari Sekadar Bubur
Pada akhirnya, Bubur Asyura bukan sekadar semangkuk bubur manis yang disajikan setahun sekali. Ia adalah pengingat akan pentingnya syukur, persatuan, dan kepedulian sosial. Ia juga merupakan warisan leluhur yang mengajarkan bahwa dalam kebersamaan, kita menemukan kekuatan.
Di setiap sendok bubur yang dibagikan – terutama saat berbuka puasa Asyura – terkandung semangat berbagi yang telah hidup ratusan tahun di tanah Serambi Mekkah. Sebuah warisan yang layak dirawat, dijaga, dan diteruskan. (XRQ)
Reporter: Akil