Bubu, Alat Tradisional Menangkap Ikan yang Ramah Lingkungan

Share

Nukilan.id – Kegiatan memburu ikan baik yang berlangsung di perairan tawar, payau, atau laut sejatinya memang sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak lama, baik secara sederhana untuk menjadi sumber bahan pangan sehari-hari atau pilihan mata pencarian masyarakat sebagai nelayan.

Namun di era modern saat ini, tak dimungkiri jika aktivitas penangkapan ikan juga banyak dilaporkan menimbulkan dampak negatif, berupa ancaman jumlah ikan yang tersedia di alam karena metode asal tangkap, hingga perusakan lingkungan di bawah air seperti kerusakan terumbu karang dan sebagainya akibat ketidakramahan alat yang digunakan.

Lebih detail, kerusakan terumbu karang yang dimaksud biasanya terjadi karena penggunaan alat penangkap ikan (API) bersentuhan langsung dengan dasar laut dan terumbu karang, sehingga ketika dijatuhkan atau diangkat pada saat tertentu menimbulkan pergesekan yang membuat ekosistem terumbu karang dan sejenisnya rusak.

Sejauh ini, umumnya ada tiga jenis alat tangkap ikan yang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri bahkan dilarang penggunaannya, yakni pukat tarik (seine nets), pukat hela (trawls), dan perangkap ikan peloncat.

Meski begitu, di samping jenis sejumlah API yang saat ini dilarang, sebenarnya ada beberapa metode penangkapan ikan yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan alat tertentu, bahkan alat yang dimaksud sudah banyak digunakan sejak lama, salah satunya adalah Bubu.

Sudah digunakan sejak tahun 1930

Gambaran bubu yang sudah digunakan pada masa lampau | Wikimedia Commons

Gambaran bubu yang sudah digunakan pada masa lampauinfo gambar
Bubu adalah alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dianyam kemudian dipasang dalam air pada kedalaman tertentu. Dengan bentuknya yang dirancang sedemikian rupa, ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar lagi.

Berupa jebakan dan bersifat pasif, bubu sering juga disebut perangkap (traps) dan penghadang (guiding barriers). Memiliki bentuk kurungan layaknya ruangan tertutup, prinsip dasar dari bubu adalah menjebak penglihatan ikan sehingga ikan yang terperangkap tidak dapat keluar.

Di setiap daerah Indonesia, alat satu ini rupanya memiliki penyebutan nama yang beragam. Misalnya di Flores Timur, bubu biasa disebut dengan nama lokal Wuo. Sementara itu nama berbeda juga dimiliki masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat yang lebih sering menyebutnya dengan istilah Lukah.

Jika menilik pada wujud dan penggunaannya secara tradisional, bubu biasanya memiliki bentuk silinder dengan panjang 1,5 meter dan berdiameter 30 sentimeter. Belum digunakan di air laut, untuk alat satu ini biasanya lazim digunakan atau dipasang pada perairan tawar seperti sawah dan sungai-sungai kecil.

Mengenai cara penggunaannya, bubu akan diletakkan pada jalur strategis yang biasa dilalui ikan, kemudian didiamkan selama satu malam atau satu hari. Keesokan harinya, masyarakat yang memasang bubu baru kembali untuk mengangkat bubu dengan sejumlah ikan yang sudah terperangkap di dalamnya.

Salah satu sumber menyebut jika bubu sebenarnya sudah digunakan sejak kisaran tahun 1930 dan 1940-an, salah satu alasan yang membuat bubu tradisional dipastikan tidak merusak lingkungan dan dapat membuat sumber daya tetap seimbang adalah karena kebiasaan masyarakat zaman dulu atau masyarakat di pedesaan pada masa kini yang akan melepaskan ikan-ikan berukuran kecil.

Bubu Masa Kini

Wujud bubu di masa kini | Faizal Rachman/ugm.ac.id

Selain memiliki bentuk bulat atau silinder, seiring perkembangannya bubu kini sudah memiliki bentuk yang beragam, terutama terkait kegunaannya saat sudah digunakan sebagai alat penangkap ikan di wilayah perairan asin atau laut.

Namun dari sekian banyak jenis bubu yang ada, satu yang paling banyak digunakan karena secara nyata tidak menimbulkan kerusakan terutama terhadap terumbu karang adalah bubu apung.

Memiliki bentuk bervariasi seperti kubus dan tabung, sesuai namanya bubu apung dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari dari bambu atau rakit bambu pada bagian atasnya.

Secara sederhana, setiap bubu biasanya memiliki tiga bagian utama yakni badan, lubang mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu. Khusus pada mulut bubu, semakin ke dalam maka diameter lubangnya akan semakin mengecil dan melengkung, lengkungan tersebut berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri atau keluar.

Kesenian Lukah Gilo bagi masyarakat Minangkabau

Kembali pada keberadaan bubu dalam wujud tradisional, di salah satu wilayah tertentu tepatnya bagi Suku Minangkabau di Sumatra Barat, bubu yang seperti disebutkan sebelumnya lebih dikenal dengan nama Lukah ternyata di saat bersamaan telah melahirkan sebuah kesenian tradisional bernama Lukah Gilo.

Istilah lukah sendiri tetap bermakna alat tangkap ikan, sedangkan gilo berarti gila. Jika ditelisik, kesenian satu ini mirip dengan jelangkung atau lebih tepatnya ritual pemanggilan arwah atau roh untuk dikurung di dalam lukah yang telah dibalut menyerupai bentuk boneka, kemudian dikendalikan oleh seorang pawang atau guru yang disebut sebagai Kulipah.

Memadukan antara gerak dan ilmu kebatinan yang dimainkan pada acara-acara tertentu seperti pengangkatan penghulu, perhelatan nagari, dan upacara perkawinan, bentuk ritual kesenian tradisional satu ini memang menggunakan lukah yang dipegang dan ditahan dengan telapak tangan secara bersama-sama oleh sekitar tiga hingga empat orang.

Setelahnya, kulipah kemudian membacakan mantra hingga pada akhirnya orang-orang yang memegang serta menahan lukah merasa bahwa benda tersebut bergerak dengan sendirinya, gerakan tersebut semakin lama semakin kuat mengarah kesana-kemari sampai akhirnya terhenti sesuai dengan mantra yang telah selesai dirapalkan oleh kulipah.

Dari proses tersebut, lukah gilo dapat diartikan sebagai alat tangkap ikan yang terbuat dari rotan dan dapat bergerak ke mana-mana layaknya orang gila. Lukah gilo sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) sejak tahun 2018 lalu. [goodnewsfromindonesia]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News