NUKILAN.id | Banda Aceh – Pagi di Aceh tak lengkap tanpa “Bu Prang,” seporsi nasi gurih yang sarat sejarah dan cita rasa khas. Bagi masyarakat Aceh, “Bu Prang” bukan sekadar sarapan, melainkan warisan kuliner yang tak terpisahkan dari perjuangan melawan penjajahan Belanda.
“Bu” dalam bahasa Aceh berarti nasi, sementara “Prang” berarti perang. “Bu Prang” atau “Nasi Perang” memiliki makna historis yang mendalam. Pada masa kolonial, nasi ini menjadi bekal wajib bagi pejuang Aceh sebelum turun ke medan laga. Masyarakat Aceh percaya, meski perang menanti, perut yang kenyang karena “Bu Prang” akan memberi kekuatan ekstra.
Saat ini, “Bu Prang” tetap menjadi pilihan utama untuk sarapan. Seperti halnya “Nasi Kucing” di Jawa, porsi “Bu Prang” cenderung kecil, namun penuh dengan rasa. Dibungkus daun pisang, nasi ini disajikan bersama aneka lauk seperti sambal, kacang panjang tumis, tauco, udang, teri balado, tempe, serta pilihan lauk lainnya seperti ikan, telur, dan ayam.
Bagi penggemar kopi yang kerap mengunjungi warung kopi di Banda Aceh, “Bu Prang” hampir selalu tersedia di atas meja, siap disantap dengan harga yang sangat terjangkau, mulai dari Rp5.000 hingga Rp10.000.
Ibrahim, salah satu pelanggan setia di sebuah warung kopi di Banda Aceh mengatakan bahwa keunikan “Bu Prang” terletak pada kemasan, porsi, dan lauknya.
“Saya selalu sarapan dengan ‘Bu Prang’ sebelum berangkat kerja. Harganya terjangkau, hanya sekitar Rp5.000 hingga Rp10.000, dan rasanya sangat nikmat,” ujar Ibrahim kepada Nukilan.id, Minggu (11/8/2024)
Bagi para pelanggannya, “Bu Prang” bukan hanya soal mengisi perut, tapi juga merasakan sepotong sejarah yang menyatu dengan budaya Aceh. Tak heran, nasi sederhana ini tetap menjadi pilihan sarapan favorit, baik bagi warga lokal maupun pendatang yang ingin mencicipi kelezatan kuliner tradisional Aceh. (XRQ)
Reporter: Akil Rahmatillah