Bobby dan Bobroknya Dinasti Politik di Era Reformasi

Share

NUKILAN.ID | OPINI – Korupsi dan politik dinasti tampaknya kian sulit dipisahkan dalam lanskap kekuasaan Indonesia. Keduanya seperti dua sisi dari satu koin yang sama—saling melengkapi, saling meneguhkan. Kasus terbaru yang menyeret Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menantu mantan Presiden Joko Widodo, kembali menyingkap sisi kelam demokrasi Indonesia yang justru subur dalam sistem politik yang mengklaim dirinya sebagai republik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan tengah menimbang untuk memeriksa Bobby dalam pusaran kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Kasus ini mencuat setelah penangkapan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara, Topan Ginting, dan satu pejabat lainnya yang diduga menerima suap sebesar Rp8 miliar dari dua kontraktor proyek jalan. Yang membuat kasus ini menarik bukan hanya soal besarannya, tapi juga jalinan relasi kekuasaan di belakangnya.

Topan bukan pejabat biasa. Ia merupakan loyalis Bobby sejak Pilkada Medan 2020 dan disebut-sebut sebagai salah satu arsitek kemenangan politiknya. Ketika Bobby naik menjadi Wali Kota Medan, Topan pun ikut naik, menduduki posisi penting hingga kemudian ditarik ke provinsi saat Bobby menjadi Gubernur. Inilah pola klasik dinasti: loyalitas lebih utama daripada kapabilitas.

Tak bisa dimungkiri, Bobby tampil ke panggung politik bukan semata karena kapabilitasnya. Statusnya sebagai menantu presiden menjadi modal utama yang mendongkrak elektabilitas dan membuka jalan kekuasaan.

Hanya berselang beberapa bulan setelah bergabung dengan PDI Perjuangan, ia dengan mudah memenangkan Pilkada Medan. Kini, ketika ia menjabat Gubernur Sumatera Utara, problem dinasti politik itu menjadi semakin kentara: pengangkatan tim sukses ke birokrasi, rusaknya sistem meritokrasi, dan rendahnya integritas pemerintahan daerah.

Menurut Survei Penilaian Integritas KPK, skor integritas Pemerintah Kota Medan di bawah kepemimpinan Bobby hanya berada pada angka 61,69—terendah se-Indonesia. Ini bukan angka biasa, melainkan cerminan dari kekacauan sistem dan lemahnya pengawasan. Demokrasi yang seharusnya menjunjung keterbukaan, justru terjerat oleh patronase dan nepotisme.

Sejak pemilihan kepala daerah secara langsung diberlakukan pada 2005, setidaknya 49 persen kepala daerah terafiliasi dengan dinasti politik. Dari jumlah itu, sekitar 13 persen tersangkut kasus korupsi. Umumnya, daerah yang dipimpin oleh politikus dinasti juga mencatat angka kemiskinan tinggi serta indeks pembangunan manusia yang rendah. Artinya, dinasti tidak hanya melahirkan inkompetensi, tetapi juga memiskinkan rakyat secara struktural.

Politikus dinasti juga cenderung menutupi penyimpangan keluarga mereka yang lebih dulu berkuasa. Dalam kasus Bobby, misalnya, KPK baru mulai berani mengusut orang-orang di sekitarnya setelah Presiden Jokowi tak lagi menjabat. Ini membuktikan satu hal: kekuasaan masih menjadi tameng paling ampuh untuk melindungi praktik-praktik koruptif.

Kita juga belum melupakan kesaksian mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, yang sebelum meninggal dunia sempat menyebut nama Bobby dalam kasus konsesi pertambangan Blok Medan di wilayahnya. Namun hingga kini, kasus itu tak kunjung menyentuh pihak-pihak yang disebutkan. KPK tampaknya berhenti pada lingkaran luar kekuasaan, belum menyentuh pusatnya.

Celakanya, alih-alih mengerem laju politik dinasti yang telah nyata merusak demokrasi, Presiden Joko Widodo justru ikut melanggengkannya. Ia mendorong anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wakil presiden dalam pemilu 2024. Maka lengkaplah skenario pewarisan kekuasaan ala monarki dalam tubuh republik.

Peringatan Muhammad Yamin pada 1945 dalam sidang BPUPK kini terasa relevan kembali. Yamin kala itu menolak sistem monarki karena khawatir akan munculnya politik dinasti yang melahirkan oligarki. Sayangnya, kekhawatiran itu justru menjadi kenyataan dalam era yang mengklaim diri sebagai reformis.

Soekarno memang tidak membentuk dinasti politik, namun ia merusak sistem demokrasi melalui Demokrasi Terpimpin. Soeharto lebih jauh lagi: merusak semangat republikanisme dengan kekuasaan represif selama 32 tahun dan bahkan mulai membangun dinasti di ujung kekuasaannya dengan menunjuk anaknya, Siti Hardianti Rukmana, sebagai menteri. Kini, pascareformasi, dinasti justru berkembang lebih ganas karena pemilu yang mahal, kelembagaan partai yang lemah, serta masyarakat pemilih yang permisif.

Bobby Nasution hanya satu dari sekian contoh bagaimana republikanisme di Indonesia makin runtuh. Yang kita saksikan bukan lagi demokrasi yang sehat, tapi demokralisasi kekuasaan oleh keluarga dan kroni. Jika ini dibiarkan, republik ini bukan hanya kehilangan maknanya, tapi juga masa depannya.

Akhir kata, saatnya publik menolak politik dinasti. Bukan karena ia tidak sah secara hukum, tetapi karena ia merusak moralitas republik. Kita butuh pemimpin, bukan pewaris tahta. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News