Nukilan.id – Presiden Joko Widodo mengeklaim bahwa dengan adanya penerapan kebijakan hilirisasi industri nikel semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pusaran nikel di Indonesia. Di antaranya pertumbuhan ekonomi di Pulau Sulawesi dan Maluku yang menjadi pusat cadangan bijih nikel terbesar di Indonesia.
Berdasarkan Laporan Peluang Investasi Nikel Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2020, beberapa provinsi di kedua pulau tersebut menyimpan sumber nikel yang sangat besar. Sebanyak 90 persen cadangan nikel tersebut di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Maluku mencapai 10,24 persen pada semester I 2024, membuatnya menjadikan ekonomi Maluku sebagai yang yang tertinggi dibandingkan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Berdasarkan data BPS, ekonomi di Maluku tumbuh hingga 11,3 persen di periode tersebut.
“Industrialisasi yang kita sebut program hilirisasi nikel di dua provinsi tersebut memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Provinsi Maluku Utara dan Sulawesi Tengah,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Widyasanti dikutip Nukilan dari CNN, Jumat (11/10/2024).
Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa hilirisasi industri nikel dan sumber daya alam lainnya merupakan kunci untuk meningkatkan ekonomi nasional. Jokowi menjelaskan bagaimana kebijakan hilirisasi nikel telah membawa lonjakan besar bagi penerimaan negara. Pada 2015, ekspor nikel Indonesia hanya bernilai Rp45 triliun. Namun angka ini melonjak drastis mencapai Rp520 triliun pada 2023 setelah kebijakan hilirisasi diterapkan.
“Hilirisasi menjadi kunci. Kita pungut pajak dari sana, pajak perusahaan pajak karyawan, bea ekspor, pajak ekspor, bea keluar, belum PNBP-nya, penerimaan negara bukan pajak, besar sekali,” ujar Jokowi saat memberikan sambutan pada pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024 yang digelar di Hotel Alila, Surakarta, dilansir dari Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Presiden, Kamis (19/9/2024).
Hilirisasi tambang nikel ini juga menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam debat cawapres beberapa waktu lalu. Saat itu, Calon Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka mengungkapkan keheranannya pada orang-orang yang anti terhadap hilirisasi.
Menurut Gibran, hilirisasi sangat penting bagi Indonesia karena Indonesia jadi mampu mengolah barang mentah menjadi bahan jadi yang bernilai ekonomi tinggi. Sehingga hilirisasi bisa membuka peluang yang besar dan luas dari hulu ke hilir untuk masyarakat Indonesia.
“Jika ada anak bangsa yang antihilirisasi, terus terang, saya jadi bingung, untuk bangsa mana dia berpihak?” ujar Gibran dalam acara Suara Muda Indonesia Untuk Prabowo-Gibran di JCC, Senayan, Jakarta, dikutip dari Kompas, Minggu (28/1/2024).
Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marives), Luhut Binsar Panjaitan ikut mengomentari dan menyangkal bahwa hilirisasi yang dijalankan oleh Presiden Jokowi dituduh ugal-ugalan.
“Jangan terus cepat berburuk sangka atau tidak mengerti latar belakangnya, terus berkomentar, seperti yang bilang ugal-ugalan,” kata Luhut, dikutip dari CNN, Jumat (26/1/2024).
Namun, benarkah klaim dari Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Luhut Binsar Panjaitan, dan pihak-pihak lainnya yang menyebutkan bahwa selain membuat pertumbuhan ekonomi meningkat, hilirisasi ini juga membawa manfaat bagi masyarakat sekitar?
Tudingan Kerja Paksa
Baru-baru ini, Wakil Menteri Urusan Perburuhan Internasional, Departemen Perburuhan Amerika Serikat (AS), Thea Lee menuding praktik hilirisasi nikel di Indonesia melakukan praktik kerja paksa.
Dalam laporan yang dirilis 5 September 2024, nikel Indonesia resmi dimasukkan dalam daftar komoditas yang melibatkan pekerja paksa dan/atau pekerja anak. Daftar tersebut diatur dalam Trafficking Victims Protection Reauthorization Act (TVPRA).
Thea Lee menyebutkan negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo (DRC), Zambia, Zimbabwe, dan Bolivia yang dikenal menggunakan pekerja anak dalam penambangan mineral seperti kobalt, tembaga, dan timah. Sementara Indonesia juga dituding menjadi negara yang menyumbang tren peningkatan kerja paksa khususnya pada produk nikel yang diolah di dalam negeri yang diolah melalui eksploitasi pekerja.
Dia mengatakan bahwa fasilitas pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan yang mayoritasnya dimiliki perusahaan China, mempekerjakan warga negara China sebagai pekerja paksa. Lee juga menuding pelanggaran hak pekerja di Indonesia meliputi lembur berlebihan, pekerjaan tidak aman, penundaan pembayaran upah, hingga ancaman kekerasan.
“Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari Tiongkok, nikel dari Indonesia, dan lagi-lagi kobalt, tantalum, dan timah dari DRC,” ujar Lee, dikutip dari CNBC, Jumat (11/10/2024).
Lee menilai tren peningkatan kerja paksa ini disebabkan oleh peningkatan kebutuhan global terkait sumber energi terbarukan yang beberapa bahan dasarnya berasal dari hasil pertambangan mineral. Karena itu, Lee mengatakan berbagai negara tersebut harus mempertimbangkan perlindungan pekerja dengan menerapkan ketentuan perdagangan dan memenuhi hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja.
Pengamat energi dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna menyebutkan dengan masuknya nikel Indonesia dalam daftar TVPRA akan menjadi tekanan baru bagi Indonesia untuk membenahi industri nikel dalam negeri, tak hanya untuk pekerja dari Cina, tapi juga pekerja Indonesia sendiri.
“Harapannya dengan masuk ke list ini, kita sudah sampai ke pembicaraan antara government to government. Sehingga ada titik eskalasi yang lebih tinggi,” ujar Putra, dilansir VOA, Kamis (10/10/2024).
Mencemari Perairan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporan riset “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut Perairan Teluk Weda dan Pulau Obi” menunjukkan bahwa kualitas air perairan di kawasan Teluk Weda, Halmahera, Maluku Utara dan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara terindikasi mengalami pencemaran yang diduga akibat dampak penambangan dan hilirisasi nikel di kawasan tersebut. Bahkan pencemarannya sudah terakumulasi hingga ke biota laut seperti ikan.
Manager Advokasi Tambang Walhi Maluku Utara, Mubaliq Tomagola mengatakan selain di Teluk Weda dan Pulau Obi, kondisi serupa juga ditemukan di Teluk Bulo, Halmahera Timur.
“Ketiga lokasi tersebut merupakan wilayah yang dekat dengan kawasan industri hilirisasi nikel, seperti Harita Nickel, PT IWIP (Indonesia Weda bay Nickel Industrial Park) dan wilayah operasional penambangan nikel PT Aneka Tambang (ANTAM),” ujar Mubaliq dalam keterangannya, Senin (29/1/2024).
Sungai yang rusak atau dicemari yaitu Sungai Akejira dan Ake Kobe yang membentang melewati pemukiman Desa Woekop, Desa Worjerana, Desa Kulo Jaya, dan Desa Lukulamo, Weda Tengah, Halmahera Tengah. Sungai lain yang juga mengalami kerusakan adalah Sungai Sageyan di Kampung Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Kondisi serupa juga terjadi di Sungai Sangaji, Maba, Halmahera Timur sani Sungai Toduku, Obi, Halmahera Selatan.
Mubaliq menambahkan ikan yang merupakan target konsumsi di kawasan tersebut telah terpapar dengan logam berat yang bersifat toksik yang dapat membahayakan masyarakat sekitar. Air sungai tampak berwarna merah kecoklatan yang menunjukkan bahwa air tersebut sudah terkontaminasi dengan tanah galian ore nikel atau batu hasil galian dari pertambangan berbahan mineral.
Selain itu, walaupun pertumbuhan ekonomi meningkat, BPS Maluku Utara juga mencatat bahwa penduduk miskin Maluku Utara pada Maret 2022 mencapai 79,87 ribu orang. Lalu pada September 2022 naik menjadi 82,13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik lagi menjadi 83,80 ribu orang. Hal ini dengan sendirinya membantah klaim yang menyatakan bahwa proyek hilirisasi nikel membawa manfaat bagi masyarakat sekitar.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menyebutkan pembangunan kawasan PT IWIP yang membabat hutan berdampak kepada banjir yang menggenangi tujuh desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara pada 23 Juli 2024 lalu. Tujuh desa di Kecamatan Weda Tengah dan Utara, Halmahera Tengah tergenang air setinggi satu hinga dua meter di Desa Lokulamo, Woe Jerana, Woe Kobe, Kulo Jaya, Lelilef, Sagea dan Trans Waleh.
“Kawasan industri IWIP, Halmahera Tengah adalah salah satu aktor penting terjadinya banjir bandang lima hari terakhir,” ujar Melky Nahar dikutip dari akun X @melky_nahar, Selasa (23/7/2024).
Sementara Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Utara, Andi Rahman menegaskan hilirisasi nikel di Sulawesi Utara tidak membawa manfaat apapun bagi masyarakat sekitar tambang dan smelter nikel. Dia menyebutkan terdapat tiga smelter nikel yang beroperasi di Sulawesi Utara, yaitu milik PT Aneka Tambang (Antam), PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).
Smelter tersebut menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dalam operasi produksinya. Pembakaran batu bara ini membuat warga yang tinggal di sekitar smelter menderita. Sisa hasil pembakaran batu bara ini menghasilkan debu hitam pekat yang memenuhi rumah warga.
Andi mengatakan, setiap menjelang sore hari, warga desa terpaksa harus menutup pintu rumah mereka masing-masing demi mencegah debu hitam tersebut masuk ke rumah mereka. Hal ini membuat warga sekitar menjadi dirugikan oleh aktivitas smelter-smelter tersebut.
“Warga di desa itu sudah mulai merasakan sesak nafas. Sering sakit-sakitan. Bahkan ada satu orang yang sudah rusak matanya akibat debu masuk di matanya. Debu hitam ini membunuh warga secara perlahan, belum lagi mahalnya biaya kalau pergi berobat,” sebut Andi sebagaimana dilaporkan Betahita, Kamis (18/4/2024). ***
Reporter: Sammy