Begini Tanggapan Pakar Budaya Terkait Pawang Hujan di MotoGP Mandalika

Share

Nukilan.id – Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unversitas Andalas (Unand), M Yunis menanggapi viralnya keberadaan pawang hujan di gelaran MotoGP di Sirkuit Mandalika.

Menurutnya, hal itu telah menyalahi konsep pawang hujan sebagai sebuah kebudayaan.

Yunis mengatakan, konsep pawang hujan itu tidak boleh diketahui dan disoroti publik sehingga jadi perbincangan banyak orang. “Biasanya orang yang pandai sebagai pawang hujan tidak mau diketahui,” kata dia.

Yunis menyebut, akan janggal apabila pawang hujan diliput media dan menjadi buah bibir masyarakat. Ia menilai, ketika perhelatan MotoGP di Mandalika kemarin, lebih mengarah pada tindakan yang memalukan.

“Kalau ada yang seperti itu, itu hanya akal-akalan saja supaya terkenal dan sebagainya. Pawang hujan itu harusnya hanya diketahui oleh orang yang memintanya saja,” kata Yunis.

Yunis menjelaskan, penggunaan pawang hujan sudah berakar lama dalam kebudayaan Indonesia, termasuk di Minangkabau. Tetapi, kata Yunis, konsep pawang hujan berbeda dengan penangkal hujan.

“Kalau pawang hujan ini memang ada. Awan mendung itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kalau menolak hujan turun, ini yang tidak bisa,” kata Yunis kepada langgam.id, Senin (21/3/2022).

Yunis menjelaskan, akar sejarah pawang hujan berasal dari kebudayaan masyarakat animisme. Namun belakangan, setelah Islam berkembang di Indonesia, pawang hujan dapat diidentifikasikan berasal dari tarekat dan ilmu kebatinan.

Sebab, salah satu syarat pawang hujan, jelas Yunis, hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu yang punya jiwa yang bersih serta amalan yang banyak.

“Secara batin, orang yang punya energi yang tinggi dari dzikir dan ibadah, dia bisa memproduksi energi positif untuk mengendalikan awan mendung,” kata dia.

Menurut Yunis, berhasil atau tidaknya kerja pawang hujan, ditentukan dengan kondisi cuaca di suatu daerah.

“Awan itu memang bisa pindah kalau di tempat lain tidak hujan, tapi kalau merata hujannya, tidak akan bisa,” sebutnya.

Kendatipun BMKG sudah punya prakiraan cuaca, Yunis mengatakan, eksistensi pawang hujan tetap diyakini sebagian masyarakat.

“Pawang hujan ini memang ada, dan bisa memindahkan awan mendung, tapi, yang pasti kalau menolak hujan, ini tidak akan bisa,” jelas Yunis.

Sejauh amatan Yunis, hingga saat ini masyarakat di daerah yang masih kental kebudayaannya, kerap menggunakan pawang hujan saat perhelatan tertentu, seperti pernikahan, alek nagari dan kegiatan besar lainnya.

“Tapi kalau yang kemarin viral itu, saya rasa tidak benar. Akal-akalan saja itu, mana ada orang yang paham bahwa ia pawang hujan mau disorot dan diliput media,” pungkas Yunis. [Langgam.id]

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News