NUKILAN.ID | Jakarta – Nama Setya Novanto alias Setnov kembali menjadi buah bibir di ruang publik Indonesia. Mantan Ketua DPR RI sekaligus terpidana kasus mega korupsi KTP elektronik itu resmi menghirup udara bebas melalui program pembebasan bersyarat (PB) pada Sabtu (16/8/2025).
Setelah menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, kepulangan Setnov disambut bukan dengan simpati, melainkan dengan gelombang kritik dari berbagai kalangan. Pegiat antikorupsi, akademisi, hingga mantan pejabat negara menilai kebebasannya merupakan pukulan telak bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Di tengah upaya negara memperkuat integritas birokrasi, munculnya kabar pembebasan Setnov justru mempertegas jurang antara keadilan hukum dan rasa keadilan publik.
Dari Korupsi e-KTP ke Jeruji Besi
Kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah hukum Indonesia. Proyek senilai Rp5,9 triliun itu ditujukan untuk modernisasi data kependudukan, namun dalam praktiknya justru menjadi ladang bancakan politik.
Pada April 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Setya Novanto, disertai denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, serta pencabutan hak politik selama lima tahun setelah selesai menjalani hukuman.
“Terdakwa juga dihukum membayar uang pengganti sebesar US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang sudah dititipkan kepada penyidik KPK,” kata Ketua Majelis Hakim, Yanto, saat membacakan vonis pada 24 April 2018.
Vonis itu dinilai sebagai salah satu hukuman paling berat bagi pejabat tinggi negara yang terjerat kasus korupsi. Namun, perjalanan hukum berikutnya justru menunjukkan arah sebaliknya.
Selama berada di balik jeruji, Setnov memperoleh sejumlah keringanan. Mulai dari remisi Idulfitri, remisi umum pada HUT RI, hingga pemotongan masa hukuman khusus. Pada 4 Juni 2025, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Setnov, sehingga hukumannya dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan.
Dengan perubahan itu, serta akumulasi remisi, ia resmi memenuhi syarat administratif untuk memperoleh pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025.
Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, Rika Aprianti, menegaskan pembebasan Setnov diberikan sesuai aturan. Ia telah melunasi kewajiban finansial berupa denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp43,7 miliar.
“Kan sudah dibayarkan, itu yang saya kirim itu [siaran pers], kan Rp500 juta sudah, Rp43 miliar sudah,” kata Rika, dikutip Bisnis.com, Minggu (17/8/2025).
Selain itu, Setnov disebut berkelakuan baik. Selama di Lapas Sukamiskin, ia menjadi inisiator program pertanian dan perkebunan, serta mendirikan klinik hukum untuk sesama narapidana. Dia menjadi motivator atau inisiator dan dinilai aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan; dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin.
Namun kebebasan itu tidak berarti bebas sepenuhnya. Setnov masih memiliki kewajiban wajib lapor bulanan hingga 2029 dan baru bisa kembali aktif di dunia politik pada 2031.
Simbol Kemunduran Pemberantasan Korupsi
Kebebasan Setnov memicu gelombang protes dari kalangan masyarakat sipil. Kasus ini menjadi ironi dalam menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-80. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan ini melemahkan semangat pemberantasan korupsi.
“ICW memandang pembebasan SN (Setya Novanto) pada kasus korupsi pengadaan E-KTP yang menimbulkan kerugian keuangan negara sekitar Rp2,3 triliun merupakan bentuk dari kemunduran agenda pemberantasan korupsi,” kata Wana Alamsyah, dikutip dari Hukumonline, Selasa (19/8/2025).
Senada, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menyebut kebijakan tersebut mengirim sinyal berbahaya. “Pembebasan ini memberikan sinyal bahwa koruptor besar bisa mendapatkan perlakuan istimewa meski telah merugikan negara dalam skandal e-KTP senilai triliunan rupiah,” kata Alvin, dikutip BBC Indonesia, Senin (18/8/2025).
Alvin menegaskan meski uang pengganti telah dilunasi, kerugian sosial akibat korupsi tak bisa dihapus. “Cost of corruption atau dampak sosial dari korupsi yang dilakukan tidak pernah benar-benar bisa ditebus,” ujarnya.
Kontroversi ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan regulasi. Pada 2021, Mahkamah Agung membatalkan Pasal 34A Ayat (1) huruf (a) PP Nomor 99 Tahun 2012, yang sebelumnya mewajibkan narapidana korupsi untuk menjadi justice collaborator sebelum memperoleh remisi.
Sejak itu, melalui Permenkumham No. 7 Tahun 2022, syarat tambahan hanya berupa pembayaran denda serta uang pengganti. Celah inilah yang dinilai melemahkan efek jera bagi koruptor.
Menurut Alvin Nicola, aturan baru ini membuka ruang diskresi yang terlalu luas. “Akibatnya, mekanisme pengawasan remisi menjadi tidak jelas, dan publik semakin kehilangan kepercayaan pada konsistensi pemerintah dalam memberantas korupsi,” tegasnya.
Pengamat hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, menilai regulasi baru tersebut kontraproduktif. “Suatu pilihan aturan yang tidak memberikan penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujarnya, dikutip Media Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Mantan Menteri ESDM, Sudirman Said, bahkan menyebut kebebasan Setnov sehari sebelum HUT ke-80 RI sebagai ironi. “Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor,” ujarnya, dikutip Nukilan dari IDNTimes, Selasa (19/8/2025).
Fenomena yang Terus Berulang
Kasus pembebasan bersyarat Setya Novanto tidak berdiri sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, publik berkali-kali disuguhi pemandangan serupa: para koruptor kelas kakap yang divonis berat, namun akhirnya bisa menghirup udara bebas lebih cepat dari yang seharusnya.
Salah satu contoh paling menonjol adalah Imam Nahrawi, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga. Ia divonis 7 tahun penjara dalam kasus suap dana hibah KONI, namun sudah bebas bersyarat pada 2024 setelah menjalani hukuman kurang lebih 4 tahun. Saat keluar dari Lapas Sukamiskin, Imam beralasan bahwa dirinya tetap ingin “mengabdi untuk bangsa” meski sudah tidak menjabat. Publik pun bereaksi sinis, menilai bahwa hukum tidak pernah benar-benar menghadirkan efek jera bagi koruptor.
Kasus serupa juga dialami Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terjerat kasus ekspor benih lobster. Meski sempat divonis 9 tahun penjara, hukumannya dipangkas dalam tingkat banding hingga menjadi 5 tahun. Pada Agustus 2025, ia juga dikabarkan tengah mengurus syarat administratif untuk segera mendapatkan pembebasan bersyarat. Kehadiran Edhy kembali ke ruang publik menimbulkan tanda tanya besar tentang konsistensi negara dalam memberi sanksi setimpal bagi pejabat yang menyalahgunakan jabatan.
Sebelumnya, publik juga diingatkan pada kasus Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten. Terjerat beberapa kasus korupsi, Atut semula divonis 20 tahun penjara, namun melalui serangkaian upaya hukum, hukumannya berkurang drastis menjadi 7 tahun. Ia bebas pada September 2022. Kehadirannya kembali di tengah keluarga dinasti politik Banten membuat publik geram, karena seolah-olah vonis panjang yang dijatuhkan hanya formalitas belaka.
Tidak hanya itu, Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, juga bebas lebih cepat. Vonis 8 tahun yang dijatuhkan terkait kasus Hambalang justru berakhir dengan kebebasan bersyarat pada April 2023. Sambutan besar-besaran oleh pendukungnya menambah ironi: seorang koruptor justru disambut bak pahlawan.
Nama lain seperti Azis Syamsuddin (mantan Wakil Ketua DPR) yang terjerat suap KPK, Jaksa Pinangki dalam kasus suap Djoko Tjandra, serta Patrialis Akbar (mantan Hakim Mahkamah Konstitusi) juga masuk dalam daftar panjang koruptor elite yang memperoleh keringanan.
Polanya hampir sama: vonis panjang dijatuhkan, kemudian dikurangi lewat upaya hukum, diperpendek lagi lewat remisi hari raya, dan pada akhirnya koruptor bisa bebas bersyarat dengan alasan administratif—pelunasan uang pengganti dan berkelakuan baik di dalam penjara.
Fenomena berulang ini memperkuat keyakinan publik bahwa ada “diskon hukum” untuk koruptor. Di mata masyarakat, penjara bagi pejabat korup bukanlah tempat hukuman yang menimbulkan efek jera, melainkan sekadar “persinggahan sementara” sebelum kembali ke kehidupan normal.
Krisis Kepercayaan Publik
Kisah pembebasan Setnov juga mengingatkan pada drama penangkapannya tahun 2017. Saat itu ia sempat buron, lalu mengalami kecelakaan mobil menabrak tiang listrik di Jakarta. Peristiwa itu melahirkan meme populer “bakpao” dan #SaveTiangListrik, yang menjadi simbol satir atas kelucuan penegakan hukum di Indonesia.
Kini, delapan tahun kemudian, publik kembali disuguhi ironi. Seorang koruptor dengan kerugian negara triliunan rupiah justru melangkah keluar dari penjara lebih cepat dari yang seharusnya.
Pembebasan Setnov memunculkan dampak luas, terutama pada tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Selain itu, dampak politik juga terasa pada partai-partai besar. Beberapa elit partai mulai cemas bahwa kasus Setnov akan kembali membuka luka lama soal keterlibatan sejumlah nama dalam proyek e-KTP.
Melemahkan Komitmen Negara
Secara hukum, pembebasan bersyarat Setya Novanto sah. Ia memenuhi syarat administratif, membayar kewajiban finansial, dan berkelakuan baik selama di lapas. Namun secara moral, keputusan ini menegaskan kelemahan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi.
“Hukum yang berlumuran korupsi membuat rasa ketidakadilan dan kini mendominasi suasana batin rakyat banyak. Akibatnya, yang bisa membeli hukum beroleh kenikmatan berlipat-lipat,” kata Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, dikutip IDNTimes, Selasa (19/8/2025).
Dengan bebasnya Setya Novanto, sekali lagi publik dipaksa menghadapi kenyataan pahit: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari kata tuntas. Dan krisis kepercayaan ini, barangkali, lebih berbahaya daripada skandal e-KTP itu sendiri.
Bebasnya Setnov bukan sekadar menandai selesainya masa hukumannya di balik jeruji besi. Peristiwa ini juga menambah daftar panjang deretan koruptor kelas kakap yang berhasil lolos dari hukuman maksimal. Fenomena ini kembali membuka perdebatan lama tentang wajah penegakan hukum di Indonesia yang kerap dipandang tidak adil.
Dalam banyak kasus, koruptor dengan kekuatan politik maupun ekonomi seakan mendapat jalan keluar yang lebih ringan dibanding pelaku tindak kejahatan lain. Potongan hukuman, fasilitas khusus, hingga remisi berlapis kerap menjadi bagian dari cerita pembebasan mereka. Sementara itu, masyarakat kecil yang terjerat kasus ringan justru harus menjalani hukuman tanpa keringanan berarti.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik yang terus berulang: apakah hukum di negeri ini memang hanya menyasar rakyat kecil? Pertanyaan tersebut bukan sekadar keluhan emosional, tetapi cermin dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Ketika seorang koruptor besar bisa keluar lebih cepat dari penjara, sementara dampak perbuatannya merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah, rasa keadilan publik terasa semakin jauh dari harapan.
Dalam konteks kebebasan Setnov, kritik yang muncul bukan hanya pada sosoknya, melainkan pada sistem hukum yang memungkinkan hal ini terjadi. Publik pun menuntut jawaban lebih serius: apakah negara benar-benar berkomitmen memberantas korupsi, atau justru terus membiarkan celah hukum yang menguntungkan para pelaku kejahatan kerah putih. []
Reporter: Sammy