Nukilan.di – Industri batu bara dan nuklir masih menyelinap dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Bahkan ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara masuk dalam rancangan beleid energi ramah bumi ini.
Sejumlah LSM menilai RUU EBT tak sejalan dengan tujuannya mendorong pemanfaatan energi terbarukan berkelanjutan. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti kerancuan rancangan regulasi itu karena mencampuradukkan energi fosil, nuklir, dan energi terbarukan dalam satu undang-undang.
“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batu bara dan nuklir yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru,” kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi ‘Pernyataan Aspirasi Bersama untuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan’ yang disiarkan melalui akun youtube IESR di Jakarta pada Kamis (19/5/2022)
Sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batu bara dan pembangkit listrik tenaga nuklir justru memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca. Seharusnya RUU EBT fokus mengembangkan energi terbarukan dengan dorongan politik dan kerangka regulasi kuat sehingga dapat berkembang cepat.
Koordinator Bersihkan Indonesia, Ahmad Ashov Birry, menilai RUU EBT yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya. RUU ini justru mengasosiasikan energi fosil dan berbahaya sebagai energi terbarukan.
“Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi,” ujarnya.
Bahkan aturan soal DMO batu bara masuk ke dalam RUU ini yang seharusnya dianggap sebagai energi kotor. Hal ini menjadi sinyal buruk dan kepada komunitas internasional yang bersolidaritas atas urgensi krisis iklim.
Ia menyarankan pemerintah melihat potensi terganggunya solidaritas komunitas internasional terhadap rancangan regulasi yang masih memihak energi fosil.
“Ini perkara sinyal apalagi levelnya undang-undang, termasuk ke komunitas internasional, industri, tetapi juga kepada masyarakat,” ujar Asnov seperti dikutip dari Antara.
Pasal enam ayat enam RUU EBT tertulis untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik energi tak terbarukan, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30 persen dari rencana produksi batu bara dan harga paling tinggi 70 dolar AS per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcal per kilogram
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan keberadaan RUU EBT seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi bersih. Semua pasal terkait energi baru dan istilah yang tidak dikenal secara internasional dapat dihapuskan.
Selain itu jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud mendorong pemanfaatan energi nuklir, sebaiknya legislatif dan eksekutif memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.
“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN,” tambah Paul. [Betahita]