NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh kini menimbulkan dampak serius terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan daerah. Kerusakan lahan pertanian yang sangat luas membuat kondisi ini tidak lagi dipandang sebagai bencana musiman semata, melainkan berpotensi berkembang menjadi krisis pangan.
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK), Amru Hidayat, S.T.P., menyampaikan bahwa masyarakat Aceh berada dalam situasi genting setelah sekitar 89.582 hektare sawah dilaporkan rusak berat akibat banjir dan longsor beruntun.
Menurut Amru, kerusakan lahan pertanian dalam skala sebesar itu bukan hanya memukul kehidupan petani, tetapi juga mengancam keberlangsungan rantai pangan Aceh secara keseluruhan.
“Ini bukan lagi soal gagal panen lokal. Ini potensi krisis pangan regional. Sawah hancur, musim tanam hilang, jalan dan jembatan rusak sistem logistik dan rantai pasok terganggu dan negara belum terlihat sigap,” tegasnya, Senin (25/12/2025).
Ia menambahkan bahwa pemerintah pusat maupun daerah harus segera memerhatikan ketersediaan stok pangan dan cadangan pangan daerah. Menurutnya, kondisi awal saat bencana menunjukkan bahwa pasokan pangan, khususnya di wilayah Gayo, sempat mengalami kekosongan, yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi para pemangku kebijakan.
Amru menilai tuntutan saat ini sangat jelas dan mendesak, yakni penyediaan cadangan lahan pangan darurat serta jaminan stok beras untuk mengantisipasi potensi kekosongan pasokan dalam beberapa bulan ke depan.
“Kalau pemerintah masih berpikir ini bisa ditangani nanti, itu keliru besar. Petani kehilangan sawah hari ini, rakyat kehilangan beras besok,” ujarnya.
Data sementara dari posko kebencanaan Aceh menunjukkan lebih dari 120 ribu warga terdampak banjir di berbagai kabupaten, dengan wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur masuk dalam kategori terdampak berat. Sekitar 18 ribu kepala keluarga kehilangan mata pencaharian, sebagian besar bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan.
Selain sawah, ribuan hektare kebun kopi dan lahan hortikultura juga dilaporkan terendam lumpur, rusak, bahkan kehilangan struktur tanahnya. Dampak ekonomi mulai dirasakan masyarakat dan diperkirakan akan semakin memburuk dalam waktu dekat.
Gangguan terhadap produksi beras lokal berpotensi memicu kenaikan harga pangan, menekan daya beli rumah tangga, serta memperlebar jurang kemiskinan di pedesaan Aceh. Sektor informal ikut terpukul, mulai dari buruh tani yang kehilangan pekerjaan, terganggunya distribusi pangan, hingga pelaku UMKM pangan yang kekurangan bahan baku.
Amru memperingatkan bahwa tanpa langkah cepat berupa rekonstruksi sawah secara masif, rehabilitasi irigasi, serta pembukaan cadangan lahan pangan yang terencana, Aceh berisiko menghadapi gelombang krisis lanjutan.
“Banjir bandang ini mungkin bencana alam, tapi krisis pangan akibat kelambanan adalah bencana kebijakan,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa kehadiran negara tidak boleh berhenti saat bencana menjadi sorotan media semata.
Jika 89.582 hektare lahan pertanian dibiarkan tanpa rekonstruksi cepat, maka yang terancam tenggelam berikutnya bukan hanya sawah, melainkan ketahanan pangan Aceh itu sendiri. (XRQ)

