NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh menilai rangkaian banjir besar yang melumpuhkan sejumlah wilayah di Aceh merupakan dampak dari rusaknya ekosistem yang tidak lagi mampu menahan tekanan aktivitas manusia.
Direktur Walhi Aceh, Ahmad Shalihin, menyebut bencana yang terjadi bukan sekadar musibah alam, melainkan akibat dari akumulasi deforestasi, ekspansi perkebunan sawit, kegiatan penambangan, hingga pertambangan emas tanpa izin (PETI).
Shalihin menegaskan kerusakan di daerah hulu sangat masif, namun penanganan selama ini justru lebih fokus pada upaya sementara di hilir.
“Ini bukan musibah alam. Ini bencana ekologis buruknya tata kelola lingkungan hidup. Hutan digunduli, sungai didangkalkan, bukit dikeruk,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (28/11/2025).
Menurut pemantauan Walhi Aceh, kerusakan paling parah terjadi pada sejumlah daerah aliran sungai (DAS), khususnya DAS Krueng Peusangan yang alirannya bergerak ke wilayah Aceh Utara dan Bireuen.
Kondisi serupa juga ditemukan di berbagai daerah lainnya, yang mengalami deforestasi signifikan akibat perkebunan skala besar, konsesi tambang, dan aktivitas pembalakan liar. Pembukaan jalan baru dinilai ikut mempercepat kerusakan kawasan hutan.
Dampak hilangnya penyangga ekologis membuat curah hujan tinggi langsung berubah menjadi limpasan besar yang mengalir deras ke hilir.
Sungai yang Kian Dangkal
Selain kerusakan hutan, sungai-sungai besar di Aceh turut mengalami sedimentasi berat imbas maraknya galian C. Hal itu menyebabkan aliran sungai menjadi dangkal dan mudah meluap saat hujan deras.
“Sungai-sungai kita sudah tidak berfungsi. Sedimentasi ekstrem membuat daya tampungnya runtuh. Begitu hujan deras datang, air langsung melompat ke permukiman,” kata Shalihin.
Ia juga menyoroti aktivitas PETI dalam dua tahun terakhir yang telah memperparah kerusakan daerah hulu.
“PETI menghancurkan hulu dan kerusakan DAS serta hutan, jadinya tanah labil, longsor mudah terjadi, dan banjir jadi tak terbendung,” ujarnya.
Dorongan Restorasi dan Audit Perizinan
Walhi Aceh mendesak dilaksanakannya pemulihan ekologis secara menyeluruh, bukan sekadar proyek jangka pendek yang muncul setelah bencana. Shalihin juga meminta audit total terhadap perizinan yang berpotensi merusak hulu, serta membuka ruang partisipasi bagi masyarakat mukim dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Sementara itu, data sementara dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh yang dihimpun hingga Kamis (27/11/2024) mencatat 30 korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor. Korban terbanyak berasal dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, yang termasuk dalam empat kabupaten paling terdampak. (XRQ)




