Nukilan.id – Perkembangan teknologi membuat kepedulian anak muda terhadap isu-isu lingkungan makin tinggi. Terlihat dalam percakapan media sosial, anak-anak muda begitu empati terhadap isu perubahan lingkungan (climate change).
Misalnya dari hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah pada 9-16 September 2021 yang melibatkan 4.020 koresponden dari seluruh Indonesia dengan rentang usia 17-35 tahun.
Dengan tujuan mencari tahu seberapa besar persoalan krisis iklim telah menjadi perhatian seluruh anak muda dan bagaimana pandangan mereka terhadap kebijakan iklim di Indonesia.
Hasil survei ini menyebutkan sebanyak 52 persen responden khawatir akan kerusakan lingkungan, 30 persen sisanya khawatir, 13 persen sedikit khawatir dan hanya 4 persen yang tidak khawatir sama sekali.
Hal ini menggambarkan mayoritas responden yang merupakan anak muda ini punya kepekaan dan perhatian kepada kerusakan lingkungan dan iklim. Namun terkadang anak-anak muda ini sulit untuk mendapatkan wadah dalam gerakan aktivismenya.
Kondisi ini yang diperhatikan oleh anak muda asal Malang bernama Ence Adinda Dianasta Almas. Perempuan yang kini berprofesi menjadi dosen muda di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melihat masih minimnya anak muda untuk terjun dalam aktivisme lingkungan.
Selain karena kekurangan wadah, tidak adanya kebijakan dan fasilitas dari pemerintah menjadi latar belakangnya. Hal ini juga ditambah minimnya edukasi yang harus diberikan agar anak-anak muda ini bisa terlibat.
Melihat kondisi ini, Ence Adinda mendirikan sebuah komunitas pilah sampah bernama iLitterless tak lama setelah menikah pada 2020 lalu. Bersama dengan sang suami, dia rajin memberikan edukasi bahkan pemilihan sampah untuk masyarakat dan tempat nongkrong di Kota Malang.
Pada gerakan ini, dirinya juga sangat concern untuk memberikan ruang kepada perempuan. Baginya keterlibatan perempuan dalam kegiatan aktivisme sosial selama ini kerap dipandang sebelah mata.
“Saya mau menormalisasi pembinaan perempuan dengan cara sebagaimana mungkin harus ditarik ke gerakan ini. Kalau orang tidak memberikan ruang kepada perempuan, saya yang akan kasih,” ucap wanita kelahiran 1994 ini.
Kepada penulis GNFI, Rizky Kusumo, Sabtu (8/1/2022), dirinya juga menceritakan bagaimana pengalamannya membangun komunitas pemilahan sampah di Kota Malang.
Tantangan membangun kesadaran terhadap isu lingkungan, dan bagaimana dirinya terus merajut jaringan untuk membangun ekosistem peduli lingkungan di Kota Malang.
Lain itu, ia juga mengungkap harapannya mengenai peran anak muda dan perempuan terhadap isu-isu lingkungan.
Berikut petikan wawancaranya.
Boleh dijelaskan konsep dari iLitterless?
iLitterless ini kan artinya kami minim sampah, memang itu dibentuk sebagaimana mungkin manusia itu harus minim sampah gitu.
Sebenarnya dimulai dari komunitas, yang pertama membuat itu saya dengan suami. Karena kami basenya di Malang, concern muncul secara personal, karena setelah menikah, rumah kami dekat dengan bank sampah di Malang.
Bagaimana awal proses iLitterless?
Dasarnya kami itu sangat aktif di sosial media jadi mulai edukasi secara personal gitu, lingkupnya di inner circel instagram sendiri. Lalu antusias ini lumayan bagus, banyak teman kami yang sudah concren, tetapi tidak tahu setelah pilah sampah itu harus diapain.
Kemudian ada bank sampah Malang yang bisa menerima sampah, tetapi dia kurang fleksibel. karena kalau mau dijemput tuh harus menunggu 50 kg.
Makannya aku mikir dengan suami membuat gerakan untuk menjadi jembatan antara pemilah sampah dengan bank sampah. Lalu muncul iLitterless.
Boleh dijelaskan proses kerja iLitterless?
Biasa jemput sampah itu suami, terus habis itu yang milah sampah itu aku dengan suami. Jadi dikerjakan sendiri, lalu ada temen aku yang tertarik jadi ikut terlibat.
Teman aku banyak yang buka kafe, kita ngobrol, liat karateristik kota Malang ini banyak anak muda. Banyak universitas, secara data ada 3.000 kafe di Malang, baik yang besar dan kecil.
Melihat karateristik kota Malang ini kan kafe banyak banget ya, mengapa kita tidak expertise di sini aja, jadi ahli di pengelolaan sampah kafe.
Teman lalu banyak yang gabung, ada 11 sampai 12 kafe. Sebenarnya banyak banget yang mau daftar, tetapi sumber dayanya masih belum cukup. Akhirnya kita fokus 11 sampai 12 kafe, yang penting tetap jalan.
Sampah di setor per dua minggu sekali, jadi sistemnya dalam satu minggu ada empat kali pick up ke kafe, dan ada induvidu. Kalau dari kafe itu gratis, tidak ada bayar sama sekali, jadi sampah tersebut sudah dipilah, lalu kami jemput, terus kami data.
Setelahnya data itu kami kasih ke owner kafe, jadi berapa jumlah sampah, berapa yang mereka bisa selamatkan supaya tidak tercampur dan bisa dibawa langsung ke tempat pembuangan akhir (TPA). Kalau yang induvidu, Rp10 ribu sekali pengantaran. Tidak ada batasan jumlah sampah yang bisa dijemput.
Sampah apa saja yang biasa dikelola?
Ada satu material yang aku kirim ke bank sampah tetapi tidak bisa. Padahal item ini UBC (Used Beverage Cartons) adalah kemasan yang terbuat dari 75 persen kertas dan 25 persen alumunium.
Biasanya digunakan sebagai wadah susu cair maupun minuman ringan seperti jus buah. kafe mana sih enggak pake UBC? Aku liat ada celah di sini, bisa banget dimamfaakan.
Tetapi tidak ada yang mau mengelola ini, karena tidak ada yang mau menerima. Soalnya ini termasuk dari materi yang sulit di daur ulang, karena terdiri dari dua atau lebih bahan pembuat.
Kalau dia terbuat dari karton dan alumunium, harus dilepas dahulu. Itu mengapa dia tidak bisa diterima oleh bank sampah.
Lalu kita kontak ke Tetra Pak Indonesia (perusahaan pengelolaan limbah kemasan makanan dan minuman). Ini ada gerakan komunitas, memang kita masih baru, bisa enggak dibantu. Tetapi sistemnya leveling jadi kalau skalanya kecil masih ada di bawahnya misal YAPSI atau pengepul-pengepul.
Apa saja program dari iLitterless?
Dari iLitterless itu ada tiga kegiatan utama, yaitu memberikan edukasi tentang pemilahan sampah organik dan anorganik, melakukan riset, dan memberikan layanan jemput sampah.
Mengapa sih tidak pilah sampah saja? karena di Malang hype-nya beda dengan di Jakarta atau di Jawa Barat. Jadi harus dari akar banget, mengapa harus pilah sampah. Edukasi lewat sosial media juga, ada seminar, isi webinar.
Selain itu jumlah sampah yang sudah di setor dan diambil semuanya di data. Sampahnya itu apa saja dan berapa. Bukan hanya edukasi tetapi kami juga kasih tahu, kamu kalau mau milah sampah kasih aja ke kita. Sudah komplet sih ini harapannya.
Apa saja tantangannya saat membangun komunitas ini?
Kalau milah sampah itu bukan hal yang baru, misal di jalan-jalan sudah ada tempat sampah tulisannya ini untuk kertas, plastik, kaca. Tetapi mereka akan tercampur jadi satu saat diangkut dengan truk sampah.
Selain itu juga ada yang berpikir, aku tuh capai milah sampah tetapi pemerintah tidak memfasilitasi. Itu waste management di kota Malang tidak tertata dengan bagus, terbukti dari sistem yang tadi pengelolaan sampah.
Jadi karena masyarakatnya skeptis, bagaimana kami bisa menyakinkan bahwa kalau masyarakat belum ada gerakanya, kita dorong nih. Kalau masyrakatnya mindset-nya udah oke, ada Non-Governmental Organisation (NGO) atau komunitas yang memfasilitasi nanti geraknya akan kayak people power gitu.
Makin banyak yang peduli jadi kita bisa dorong pemerintah. Walau tidak bisa dipungkiri kalau pemerintah dibidang ini geraknya tidak seberapa. Kita tidak seberapa, tetapi apa kita diam saja?
Lalu kedua bicara sampah, ada pertanyaan kalau aku pilah sampah dapat cuan enggak? Masih ada pemikiran bahwa ketika milah sampah harus mendapatkan uang atau hadiah.
Padahal harus ada kesadaran bahwa kita kan yang hasilin sampah, makannya harusnya tanggung jawab. Pandangan ini yang masih ada di Malang, kalau milah sampah harus dapet uang dong, kalau milah sampah harus dapet hadiah dong.
Mungkin kalau di Jakarta atau Jawa Barat awarnes-nya bagus bahwa itu sudah tanggung jawab mereka. Tetapi kalau dari iLitterless tidak mau kencang, karena harapannya kita tidak mau mengecilkan hati orang-orang yang mau milah sampah.
Jadi kita kasih stimulus yang misalnya ketika program iLitterless yaitu Green Consumer Day pada 28 september. Mengajak masyarakat untuk pilah sampah, lalu di drop di kafe.
Kalau sudah setor sampah, akan dapat free coffee. Siapa yang tidak mau dapet kopi gratis, lalu dapet hype-nya bisa foto-foto. Sekarang kan orang suka mendapatkan value lebih.
Ada value, gratisnya juga ada, jadi pemilahan sampah ini bisa masuk ke anak-anak muda, memang perlu dikemas sedikit-sedikit stimulis agar mau pilah sampah.
Lalu ketiga sumber daya terbatas. Contoh sampah ini masih ditumpuk loh di rumah pribadi. Jadi tempatnya belum ada, sumber daya manusianya sangat terbatas.
Kalau kami punya sumber daya besar, bisa untuk ambil sampah lebih banyak lagi. Kami juga NGO non profit, jadi terbatas secara financial kemudian tempat dan fasilias. Sekarang berfokus yang bisa dipegang, dimamfaatkan dahulu sambil cari-cari yang lainnya.
Berapa jumlah sampah yang biasa dikelola?
Bisa mencapai 175 kg sampah, itu paling rendah, tergantung kalau drop-nya, kalau sampah dari induvidu banyak, sampahnya jadi banyak. Tetapi sejak kami berjalan pada Juni sampai Desember hitung-hitunganan sudah 1.096 kg sampah.
Hitungannya 60 persen sampah kertas atau UBC, 19 persen sampah beling, 14 sampah plastik 7 persen sampah logam. Nanti akan dikirimkan 70 persen ke bank sampah Malang. Jadi kita masih bertindak sebagai collecting partner belum me-recycling apapun.
Belum ada program daur ulang sampah?
Dari 70 persen sampah yang dikirimkan ke bank sampah, sisanya itu sampah residu yang tidak diterima bank sampah, misalnya styrofoam, plastik yang ada lapisan aluminium, mika, kami kumpulkan karena bisa diterima oleh komunitas ini.
Biasanya ada yang ikut kegiatan ecobrick, misal di Taman Kanak-Kanak (TK) di Malang, setiap semester diajarkan bagaimana membuat ecobrick dari sampah.
Ada juga local artwork ini lagi on going kami suplai bahannya, misalnya sampah residu tadi dicampur dengan resin kamudian dijadikan furnitur untuk kafe.
Mulai melibatkan komunitas lingkungan lain di Malang?
Kami berjejaring dengan aktivis lainnya, karena di Malang tuh seporadis. Misal kemarin kita bikin event, ternyata ada seorang ibu yang bisa me-recycling sampah organik ketemu lagi ada seseorang yang bisa upcycle.
Jadi setiap ada kegiatan tuh kami bisa membentuk jaringan. Sehingga bisa membentuk jaringan zero waste di Malang, tentunya harapannya bisa membesar.
Peduli terhadap keterlibatan perempuan, apa tujuannya?
Sebagai founder dari iLitterless dan saya perempuan, jadi ingin membuka wadah kepada perempuan juga supaya bisa aktif dalam aktivisme. Karena tidak bisa dipungkiri masih ada pandangan sebelah mata.
Misalnya saya presentasi dengan sesorang atau klien atau segala macam yang lebih banyak laki-laki. Kalau meeting saya datang barsama suami, duduknya berjejer, terus tidak jarang pertanyaannya khusus untuk suami.
Padahal kalau bicara founder berarti ide juga dari saya dan kami sama-sama punya andil penting. Karena itu saya mau menormalisasi pembinaan perempuan dengan cara sebagaimana mungkin harus ditarik ke gerakan ini. Kalau orang tidak memberikan ruang kepada perempuan saya yang akan kasih.
Jadi kalau orang lihat iLitterless, saya dengan suami memperhatikan rasio membernya harus sama. Ini juga gerakan kaderisasi, misal ada event, leader-nya kita kasih perempuan, jadi mereka tahu bagaimana presentasi dengan seseorang, bikin decision, lead kampanye. Benar-benar memberi kesempatan kepada perempuan.
Saya sempat cerita ada ibu-ibu yang bisa me-recycling sampah dari sampah organik, tetapi dia tidak muncul sampai ke permukaan. Padahal idenya bagus sekali.
Diam-diam, dia juga melakukan edukasi perempuan di kampungnya bagaimana membuat eko-enzim, bagaimana bikin sabun dari minyak jelantah. Sosok ini yang saya ingin munculkan ke permukaan.
Perhatian pemuda terhadap isu lingkungan?
Ada riset dari Erasmus Mundus yang menyebutkan 90 persen anak muda di Asia sangat concern dengan climate change, cuma mereka hanya aware tetapi don’t care.
Mereka tahu ini pilah sampah, apa bahayanya tidak memilah sampah. Tetapi secara induvidu masih kurang untuk bergerak, jadi harus ada booster-nya.
Dari riset ini sangat berkorelasi dengan di lapangan. Saat saya maju ke kafe masih door to door ada satu owner cafe, suka merasa bersalah kalau pake cup yang sekali pakai, tetapi tidak bisa apa-apa.
Sudah ada kepedulian dan concern-nya sudah ada, jadi misal ada komunitas atau NGO yang bisa mendorong mereka, lalu ada wadah pasti jadi.
Apalagi dibantu dengan peraturan pemerintah untuk memilah sampah. Sekarang ini kan memilah sampah hanya jadi imbauan bukan sesuatu yang wajib.
Melihat sampah yang ada di hutan atau sungai, apa tanggapnnya?
Untuk sampah hutan atau laut, itu kan bermula dari pusat atau kota. Kalau mau mengurangi sampah harus dimulai dari di mana sampah itu berasal.
Kalau bicara sampah di lautan, Presiden Jokowi inginya 2030 sudah ada pengurangan sampah di lautan, tetapi hanya fokus di lautan namun di daratan tidak ada kebijakan, bagi saya percuma.
Pertama untuk mengurangi sampah di lautan atau di hutan, kita harus bisa mengubah mindset, buang sampah di tempatnya itu tidak cukup, sekarang harus ada pemilahan.
Pemerintah juga harus memperbaiki waste management-nya, bagimana sampah bisa secara komperhensif ditangani dengan baik tidak hanya diambil ke TPA karena akan numpuk.
DI TPA mau diapain? Mau dibakar ditimbun? apa itu tidak menjadi another isu lagi. Hal-hal ini yang harus dipahami oleh masyarakat dan pemerintahnya.
Apa ada harapan terkait tentang isu lingkungan saat ini?
Kita ada hastag pilah sampah tanpa ribet. Karena pilah sampah adalah core dari semuanya. Daripada kita bicara yang makro-makro banget di luar sana.
Tetapi orang yang tidak terbiasa pilah sampah, jadi sama saja. Memang harus dibenahi lagi bahwa pilah sampah ini bisa dilakukan oleh semua orang, semua umur, dan di mana pun. Lalu tinggal fasilitasnya dan mewadahinya bagaimana.
Kalau untuk itu kami berharapnya secara khusus belum ada, tetapi harapnya pengurangan sampah di lautan, semakin banyak orang yang sadar akan pilah lingkungan dampaknya akan besar kepada ekosistem kita. [GNFI]