Banda Aceh Selepas Lebaran: Kisah Pendatang Baru di Kota Serambi Mekah

Share

NUKILAN.ID | FEATURE – Di antara denting sendok dan aroma bumbu yang menguar dari penggorengan besar, Ilham berdiri tegap di balik gerobaknya. Sore itu, kawasan Darussalam mulai ramai. Mahasiswa pulang kuliah, bocah-bocah bermain, dan suara motor berseliweran.

Ilham mengaduk nasi dengan cepat, seolah menyalurkan degup jantung yang masih tak percaya: ia kini tinggal dan bekerja di Banda Aceh.

“Dulu cuma dengar cerita soal kota ini dari sepupu. Sekarang, aku masak nasi goreng di sini tiap malam,” ujarnya, saat diwawancarai Nukilan.id pada Selasa, 20 Mei 2025 lalu.

Ilham adalah satu dari sekian pendatang baru yang tiba di Banda Aceh setelah Lebaran. Tak ada sambutan, tak pula gegap gempita. Namun dari tahun ke tahun, gelombang ini nyata—sunyi, tapi berdenyut. Mereka datang dengan beragam alasan: mencari kerja, melanjutkan pendidikan, atau sekadar ingin mencoba hidup di kota.

Banda Aceh mungkin tak sepadat Jakarta atau segemerlap Kota Metropolitan lainnya. Namun bagi sebagian orang dari kabupaten/kota lain di Aceh, ibu kota provinsi ini tetap menjadi magnet. Kota ini menawarkan akses pada pendidikan tinggi, peluang usaha, dan ekosistem sosial yang lebih dinamis.

Namun, perpindahan itu tak mudah. Tak ada data pasti mengenai jumlah perantau baru yang datang usai Lebaran. Tapi, menurut pengamatan Nukilan.id, pola ini tampak berulang. Lebaran menjadi semacam “batas waktu” psikologis, seolah saat orang merasa sah untuk pergi, meninggalkan kampung halaman demi hidup yang baru.

“Ayahku sempat berat. Tapi aku bilang, kalau bukan sekarang, kapan lagi?” cerita Ilham. Di kampungnya, ia pernah membuka warung kecil, tapi tak bertahan lama. “Banda Aceh lebih ramai. Mungkin aku bisa bertahan lebih lama di sini,” lanjutnya.

Lain Ilham, lain pula Winda. Perempuan muda asal Aceh Barat Daya ini kini bekerja menjaga konter pulsa di kawasan Lampineung, Banda Aceh. Kepada Nukilan.id, Winda bercerita tentang perjalanannya merantau ke ibu kota provinsi.

Ia tiba di Banda Aceh seminggu setelah Lebaran, hanya membawa satu ransel pakaian, sebotol minyak angin, dan keyakinan yang belum sepenuhnya ia pahami

“Aku belum tahu apa tujuan besarnya. Yang penting bisa kerja dulu, bantu keluarga,” tuturnya pelan.

Ia tinggal di kamar kontrakan kecil bersama dua teman yang juga perantau. Gaji tak seberapa, tapi cukup untuk makan dan kirim sedikit ke kampung. Setiap malam, setelah menutup konter, mereka biasanya mengobrol lama. Kadang tentang masa depan, kadang soal kerinduan terhadap rumah.

“Pernah aku nangis waktu lihat foto ibu di HP. Tapi ya… ini bagian dari pilihan,” katanya sambil menahan senyum.

Kehadiran pendatang baru seperti Ilham dan Winda menambah lapisan kehidupan urban Banda Aceh. Mereka adalah pekerja informal, pelajar, penjual makanan, penjaga toko, sopir ojek daring—yang jarang masuk statistik, tapi menjadi bagian penting dari denyut ekonomi kota.

Fenomena ini adalah bagian dari migrasi internal yang terus berlangsung di Aceh. Namun, tanpa dukungan sosial dan ekonomi yang memadai, sebagian dari mereka rentan terhadap eksploitasi dan kesulitan hidup.

Meski banyak tantangan, tak sedikit perantau baru yang berhasil membangun pijakan hidup di kota ini. Ilham misalnya, kini mulai punya pelanggan tetap. Ia sudah menyisihkan uang untuk menyewa tempat yang lebih baik.

“Mungkin tahun depan bisa buka tempat makan kecil, bukan di pinggir jalan lagi,” ujarnya.

Winda pun perlahan menyesuaikan diri. Ia mulai belajar akuntansi dasar dari YouTube. “Biar nanti kalau ada rezeki, bisa buka konter sendiri,” katanya, sembari melayani seorang pelanggan yang membeli paket data.

Banda Aceh tidak menjanjikan kemewahan. Tapi kota ini menyediakan ruang. Untuk yang mau mencoba, gagal, lalu mencoba lagi. Bagi Ilham dan Winda, kota ini bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang belajar—tentang hidup, tentang berani meninggalkan, dan tentang membangun harapan dari nol.

Dan setiap nasi goreng yang dimasak, setiap pulsa yang dijual, adalah bagian dari perjuangan itu. Pelan-pelan, mereka menanam akar. Karena mungkin, Banda Aceh bukan hanya kota, tapi rumah kedua yang sedang tumbuh bersama mereka. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News