Badan Legislasi DPRA: Negara Berikan Perlindungan Khusus Terhadap Bahasa Aceh

Share

Nukilan.id – Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Ridwan, S.Pd.I, MM menyampaikan negara memberikan perlindungan khusus terhadap bahasa daerah terutama bahasa Aceh.

Hal itu disampaikannya dalam sidang paripurna penyampaian laporan Rancangan Qanun Aceh tentang bahasa Aceh dalam rangka Penetapan Rancangan Qanun Usul Inisiatif DPR Aceh di Aula Utama DPRA Banda Aceh, Kamis (2/9/2021).

Ridwan menceritakan, bahwa, sebelum lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam, di Aceh telah menggunakan Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab. Seterusnya pada tahun 905 Hijriah atau 1500 Maséhi, dipimpin oleh Paduka Yang Mulia, Sulthan ‘Ali Mughayat Syah.

“Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab ini terus digunakan dalam tatanan kerajaan dan seluruh lapisan masyarakat di Aceh sampai menjadikan Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab tulisan resmi dalam Konstitusi kerajaan Aceh Darussalam yang disebut juga Qanun Al-Asji. Selanjutnya kurun waktu terus berjalan sehingga terjadi penyempurnaan Qanun Meukuta ‘Alam Al Asyi tetap menggunakan Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab, yang dipimpin oleh Paduka Yang Mulia Sulthan Iskandar Muda Meukuta ‘Alam pada tahun 1039 Hijriah atau 1630 Masehi,” jelas Ridwan yang akrab disapa Nektu.

Penggunaan Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab tersebut, kata dia, terus berjalan pada kerajaan dan seluruh lapisan masyarakat dan setelah perjalanan waktu dan terjadi perang panjang dengan Belanda di mana orang-orang Aceh banyak syahid, sehingga terjadi pergantian generasi.

“Setelah pergantian generasi Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab pun dihilangkan secara bertahap digantikan dengan abjad latin di sekolah-sekolah yang ada di Aceh, sehingga menjadi Bahasa, Aksara, Sastra dan Abjad Aceh ‘Arab yang secara umum di Aceh,” terang Nektu.

Selain itu, Politisi PDA ini menyampaikan bahwa, berdasarkan Pasal 18 b Undang-undang Dasar 1945, ayat (1) yang berbunyi: negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang.

“Sedangkan ayat (2) berbunyi: negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang,” sebutnya.

Lanjut Nektu, pada pasal 32 Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Selanjutnya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Dimana Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua,” ungkapnya.

Hal ini, kata Nektu, dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) between The Government of Republic of Indonesia and The Free Aceh Movement, Helsinki 15 Agustus 2005, dan sebagai turunan hukumnya melahirkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.

Ia juga menyebutkan bahwa, salah satu poin pentingnya yaitu terdapat di dalam BAB IV tentang Kewenangan Pemerintah Aceh Dan Kabupaten/Kota yang berbunyi sebagi berikut:

1. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

2. Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Sedangkan persoalan Pendidikan terdapat dalam BAB XXX tentang Pendidikan pasal 215 yang berbunyi: Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat.

Kamudian, lanjut Nektu, dalam Bab XXXI tentang Kebudayaan Pasal 221 yang berbunyi:

1. Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam.

2. Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengikut sertakan masyarakat dan Lembaga Sosial.

3. Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, mengakui, menghormati dan melindungi warisan budaya dan seni kelompok etnik di Aceh sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Reporter: Hadiansyah

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News