Nukilan.id – Hutan mangrove di Provinsi Aceh, tersebar di wilayah pantai timur. Kawasan ini meliputi Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen.
Data WWF Indonesia bersama Forum DAS Krueng Peusangan dan Balai Syura Ureung Inong Aceh, dalam program Share Resources Joint Solutions (SRJS) menyebutkan, luas mangrove di Aceh Timur sekitar 18.080,45 hektar. Sementara, Aceh Tamiang (15.447,91 hektar), Kota Langsa (5.253,15 hektar), Aceh Utara (959,11 hektar), Lhokseumawe (88,34 hektar), dan Bireuen (25,57 hektar).
Mangrove tersebut terdiri tiga famili yaitu Rhizophoraceae, Sonneratiaceae, dan Euphorbiaceae serta 7 jenis pohon: Bruguiera gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Sonneratia ovata.
Namun, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 103/MenLHK-II/2015, mangrove yang masuk kawasan hutan dilindungi hanya 9.876,39 hektar.
Rinciannya, Aceh Timur (4.797,25 hektar), Aceh Tamiang (4.216,33 hektar), dan Kota Langsa (862,81 hektar). Sementara mangrove di Kabupaten Aceh Utara, Bireuen dan Kota Lhokseumawe, berada di area penggunaan lain.
Perwakilan Aceh Wetland Foundation (AWF), Yusmadi Yusuf mengatakan, sebagian besar hutan mangrove di pantai timur Aceh dalam kondisi rusak berat dan sedang.
“Menyusut akibat perkebunan, permukiman, pertambakan, dan penebangan liar,” ungkapnya, Rabu (02/02/2022).
Penebangan umumnya dilakukan untuk bahan baku arang yang dijual ke Sumatera Utara. Ini terjadi di Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang. Tata kelola pemanfaatan kawasan hutan melalui Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) juga belum berjalan.
“Pemerintah Aceh harus memprioritaskan mangrove sebagai kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Cabut izin pemilik konsesi yang terbukti melanggar. Libatkan komunitas adat terkait pengelolaan dan lakukan restorasi pada kawasan terdegradasi,” ungkapnya.
Jika kerusakan tidak segera ditangani, bencana alam akan sering terjadi di pantai timur Aceh, termasuk masalah abrasi.
“Nelayan menangkap ikan dan kepiting di areal mangrove, jika mangrove rusak hilang harapan mereka,” ujar Yusmadi.
Khairan, masyarakat Kuala Langsa, Kota Langsa menyebutkan, jika dapur arang masih ada maka menyelamatkan mangrove masih sulit. “Saya melihat perahu-perahu kecil mengangkut kayu bakau ditebang ilegal yang dibawa ke dapur arang.”
Setelah dibakar, arang dipasok ke Sumatera Utara menggunakan truk. Ini sering terjadi dan jarang dilakukan penertiban. “Setahu saya, di perbatasan provinsi ada pos penegak hukum termasuk pos polisi hutan,” terangnya.
Rehabilitasi
Penelitian yang dilakukan staf pengajar Universitas Al Muslim, Rini Fitri dan Iswahyudi pada 2010 menunjukkan, pantai timur Aceh merupakan kawasan pesisir strategis sebagai pusat kegiatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur, yang sebagian besar penduduk terpusat di pesisir.
“Tekanan lahan sangat tinggi, terutama untuk tambak yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat pesisir,” terang mereka di Jurnal Hidrolitan Universitas Jambi.
Upaya pengelolaan mangrove secara baik dan berkelanjutan adalah dalam bentuk rehabilitasi dan konservasi. “Rehabilitasi berupa penghijauan kawasan pesisir sebagai green belt dalam bentuk penanaman jenis Rhizophora sp.”
Rini dan Iswahyudi menambahkan, pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jenis Rhizophora yang ditanam berasal dari Rhizophora mucronata. Jenis ini dipilih, selain ketersediaan bibit, juga pada kondisi substrat pasir berlumpur dan kemampuan pertumbuhannya.
“Jenis ini lebih cepat tumbuh dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Namun, dampak jangka panjang dikhawatirkan terjadi pengurangan spesies mangrove alami akibat dominansi satu jenis tanaman. Kekhawatiran lainnya adalah rentannya mangrove rehabilitasi terhadap serangan hama akibat sistem satu spesies,” papar mereka.
Sumber: MongabayIndonesia