NUKILAN.ID | ISTANBUL – Di sudut-sudut kota Istanbul yang sibuk, tersembunyi sebuah tradisi tua yang tetap hidup meski zaman telah berganti. Di sebuah toko roti sederhana di kawasan Fatih, seorang pria membeli dua ekmek, tapi hanya satu yang dibawanya pulang. Sisanya? Ia titipkan kepada penjual sembari berkata pelan: “Askıda kalsın.” Biarkan satu digantung.
Askıda Ekmek bukan sekadar kebiasaan. Ia adalah filosofi. Tradisi ini tidak dibentuk oleh sistem bantuan sosial formal, apalagi digerakkan oleh panggung sorotan dan plakat nama donatur. Ia mengalir alami dari denyut kehidupan masyarakat Türkiye. Satu ekmek ditinggalkan, satu perut kenyang, dan satu harga diri tetap utuh.

Warisan ini tak lahir dalam ruang kosong. Ia tumbuh dari akar nilai Islam yang mengajarkan bahwa memberi bukan sekadar amal, tetapi bentuk syukur. Askıda Ekmek adalah pengejawantahan paling sederhana dari konsep infak dan sedekah dalam Islam, di mana pemberian seharusnya tidak menyakiti perasaan penerima.
Dalam sejarahnya, baik Sultan maupun rakyat biasa turut serta. Hari ini, di tengah gemuruh modernitas Türkiye, praktik ini justru tumbuh dalam diam, melawan derasnya arus individualisme dan materialisme.
Lebih dari sekadar sepotong roti, Askıda Ekmek adalah cara berbagi yang menjaga martabat. Tidak ada nama yang dipampang. Tidak ada penerima yang perlu menjelaskan siapa mereka. Roti yang digantung itu bebas diambil oleh siapa saja yang membutuhkan, tanpa merasa menjadi objek belas kasihan. Inilah nilai luhur yang menjadikannya istimewa: ikhlas dan tersembunyi.
Kita hidup di dunia yang semakin riuh oleh pencitraan. Bantuan sering kali datang dengan syarat: harus terlihat, harus diketahui, harus dibalas. Dalam konteks itu, Askıda Ekmek menjadi kritik yang lembut namun tajam terhadap praktik amal yang kehilangan substansi karena terjerat logika popularitas.
Yang lebih menarik, tradisi ini tidak stagnan. Ia tumbuh, beradaptasi, dan berkembang. Dari sekadar roti, kini menjelma dalam bentuk Askıda Fatura—membayar tagihan listrik atau air orang lain tanpa nama. Ada pula Askıda Alışveriş, tempat orang menitipkan belanjaan untuk mereka yang membutuhkan. Bahkan secangkir kopi hangat pun bisa menjadi medium berbagi lewat Askıda Kahve. Pemerintah kota dan masjid-masjid turut mendukung, menjadikannya program sosial yang tetap menjaga ruh kebaikan: sunyi, tapi penuh makna.
Di tengah krisis global, inflasi, dan ketimpangan sosial yang kian tajam, dunia seakan lupa bahwa membantu tidak harus selalu formal, apalagi dengan birokrasi rumit. Askıda Ekmek mengajarkan, bahwa satu roti cukup untuk menjaga harga diri manusia. Bahwa berbagi bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, dan yang terpenting: tanpa pamrih.
Ahmet Usta, pemilik toko roti generasi ketiga di Üsküdar, menyebutkan dengan kalimat sederhana tapi dalam: “Kami tidak tahu siapa yang memberi, kami juga tidak tahu siapa yang mengambil. Yang penting, tak ada yang tidur dalam keadaan lapar.” Pernyataan ini, jika direnungkan, bukan hanya ungkapan kebaikan, tapi juga pernyataan politik yang melampaui sekat identitas dan status sosial.
Dunia butuh lebih banyak Askıda Ekmek. Bukan hanya sebagai tradisi lokal Türkiye, tapi sebagai inspirasi global. Dalam sunyi, dalam kesederhanaan, dan dalam penghormatan terhadap sesama, ia memberi kita pelajaran: bahwa kebaikan sejati tak butuh nama. Ia hanya butuh niat, tindakan kecil, dan hati yang besar.
Askıda kalsın—biarkan kebaikan itu tetap tergantung. Biarkan ia menjangkau siapa saja yang memerlukan, tanpa harus menundukkan kepala.
Update berita lainnya di Nukilan.id dan Google News
Penulis: Surya Al Firdaus (Mahasiswa Aceh di Turkiye)