Aryos Sebut Motif Terorisme di Aceh Bergeser dari Ideologi ke Ekonomi

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Penangkapan dua aparatur sipil negara (ASN) oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror di Aceh pada Senin (5/8/2025), kembali membuka mata publik terhadap dinamika terorisme di provinsi paling barat Indonesia.

Tak hanya menambah panjang daftar keterlibatan warga Aceh dalam jaringan radikal, kasus ini juga menyoroti adanya pergeseran motif pelaku dari ideologi ke faktor ekonomi.

Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 35 orang terduga teroris diamankan di Aceh. Provinsi ini masih menjadi salah satu wilayah kantong penggalangan jaringan radikal yang aktif. Berdasarkan catatan, Aceh kerap menjadi lokasi operasi Densus 88.

Pada Juli dan Agustus 2022, aparat menangkap 28 orang terduga teroris dari jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Sebelumnya, pada Januari 2021, lima orang juga ditangkap di sejumlah kota, termasuk Banda Aceh dan Langsa—salah satunya berstatus ASN.

Kini, penangkapan dua ASN di awal Agustus 2025 mengungkap fakta baru: keterlibatan dalam jaringan teroris tidak lagi semata-mata karena ideologi, tetapi juga karena kebutuhan ekonomi.

Pengamat politik dan keamanan dari Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, menyebut bahwa fenomena ini merupakan temuan penting dalam dinamika terorisme saat ini.

“Dulu, orang masuk jaringan teroris lebih karena faktor ideologis khususnya yang berbasis keagamaan. Sekarang ini, terungkap motif ekonomi,” sebut Aryos, Rabu (6/8/2025).

Menurut Aryos, pola eksklusif yang dulu melekat pada kelompok garis keras juga mulai luntur. Para simpatisan kini cenderung berbaur dengan masyarakat umum, bahkan menjadi bagian dari aparatur negara.

“Sekarang ini, mereka justru berbaur, bagian dari aparatur negara, dan beraktivitas ekonomi sebagaimana orang lainnya,” tambahnya.

Ia menilai, kondisi ini menjadi tantangan serius yang perlu direspons cepat oleh aparat penegak hukum, termasuk Densus 88, dengan memperdalam motif-motif ekonomi di balik keterlibatan individu dalam jaringan teroris.

“Ini penting didalami agar semua pihak dapat mengembangkan sistem deteksi dini yang baru, merumuskan pola antisipasi dan metode pembinaan yang tepat dan efektif,” ujar Aryos.

Aryos juga mengingatkan bahwa Aceh memiliki jejak sejarah panjang yang menjadikannya rentan terhadap pengaruh gerakan radikal. Dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga kemunculan Negara Islam Indonesia (NII), wilayah ini menyimpan rekam jejak sosial dan ideologis yang belum sepenuhnya tuntas.

“Gerakan radikalisme di Aceh masih sangat eksis. Indikasi keterlibatan ASN dalam jaringan ini menunjukkan pengaruh itu belum benar-benar hilang, dan motif baru ini semakin membuka ruang rekrutmen baru yang lebih mudah, jika tidak segera dibangun sistem antisipasinya,” tambahnya.

Ia pun menegaskan bahwa penangkapan dua ASN terduga teroris ini harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk mengevaluasi dan memperkuat sistem pembinaan terhadap aparatur negara.

Aryos menegaskan, tanpa langkah antisipasi yang sistematis dan berlapis, kejadian serupa akan terus terulang dan bisa berdampak serius terhadap stabilitas nasional.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News