Nukilan | Banda Aceh – Penggantian nama dari Rumoh Geudong menjadi Memorial Living Park menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap kontroversial. Dosen Antropologi dan akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal), Teuku Kemal Fasya mengatakan perubahan nama dari Rumoh Geudong menjadi Memorial Living Park merupakan upaya untuk melakukan pelupaan sejarah atau politics of forgetness. Upaya perubahan ini dianggap keliru mengingat pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di Rumoh Geudong.
“Kalau dinamakan Living Park itu kan berarti menjadi taman bermain, padahal di situ ada situs kejahatan HAM masa lalu yang pernah terjadi. Itu yang kita permasalahkan. Kalau itu diubah, maka pelan-pelan kasus kekerasan di Rumoh Geudong tidak akan pernah dituliskan lagi,” ujar Teuku Kemal Fasya kepada Nukilan, Kamis (10/7/2025).
Menurut Kemal, era supra digital seperti saat ini yang didominasi oleh generasi z atau gen Z dan generasi Alpha, generasi ini tidak memiliki keterikatan terhadap luka atau trauma dengan masa lalu.
“Ketika misalnya tidak ada museum atau situs yang menceritakan tentang pelanggaran HAM masa lalu, mereka pasti tidak akan tahu apa-apa lagi. Secara perlahan maka itu akan menghapuskan sejarah konflik pelanggaran HAM masa lalu di Aceh,” kata Kemal.
Sebelumnya, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra bersama Wakil Menteri HAM Mugiyanto meresmikan Memorial Living Park Rumoh Geudong di Desa Bilie, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie, Kamis (10/7/2025). Nama Rumoh Geudong kini resmi diganti menjadi Memorial Living Park sehingga menimbulkan kesan melupakan kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu yang pernah terjadi di sana. []