NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan menjadi sorotan utama dalam Seminar Cendekiawan bertajuk “Akselerasi Pengembangan Sektor Migas dan Pertambangan Aceh; Menuju Tata Kelola Berkelanjutan dan Kesejahteraan Masyarakat” yang digelar oleh Pemuda ICMI Aceh pada Minggu (22/6/2025). Kegiatan ini dihadiri sekitar 300 peserta dari berbagai elemen masyarakat.
Ketua Umum ICMI Aceh, Taqwaddin, dalam pemaparannya menekankan bahwa pengelolaan SDA merupakan kunci penting dalam mendorong kesejahteraan rakyat Aceh. Ia mengawali pemaparan dengan merujuk Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap daerah istimewa.
Menurutnya, Aceh yang memiliki keistimewaan dan kekhususan, khususnya dalam hal pengelolaan SDA dan pembentukan BPMA, seharusnya mampu menghadirkan perubahan positif bagi rakyat.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Berdasarkan data BPS 2024, angka kemiskinan di Aceh masih mencapai 12,64 persen—tertinggi di Sumatera. Di sisi lain, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun yang sama menempatkan Aceh dalam enam besar provinsi dengan kasus korupsi terbanyak secara nasional.
Tantangan lainnya juga muncul dari tingginya kasus penyalahgunaan narkoba (peringkat 2 nasional), prevalensi stunting (peringkat 7 nasional), hingga rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (75,36, peringkat 27 nasional). Ditambah lagi, indeks literasi masyarakat yang juga masih rendah, yaitu 72,4 menurut data terbaru.
Taqwaddin menjelaskan, penting untuk membedakan antara penguasaan dan pengelolaan SDA. “Penguasaan” merujuk pada aspek legal seperti hak dan kewenangan, sementara “pengelolaan” menyangkut aspek manajerial seperti perencanaan dan pelaksanaan. Menurutnya, pengelolaan tanpa kejelasan penguasaan hukum adalah kekeliruan kebijakan.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa pengelolaan sektor migas dan pertambangan Aceh masih menghadapi tumpang tindih regulasi. Sejumlah undang-undang yang mengatur sektor ini, seperti UU Pokok Agraria, UU Lingkungan Hidup, UU Minerba, hingga UU Pemerintahan Daerah dan UU Pemerintahan Aceh (UUPA), perlu diharmonisasi agar tidak menimbulkan konflik kewenangan.
Pasal 156 UUPA, misalnya, memberikan kewenangan pengelolaan SDA kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Namun, UU Pemerintahan Daerah tahun 2014 justru membatasi kewenangan kabupaten/kota, kecuali untuk izin panas bumi. Kondisi ini membuat banyak dinas pertambangan daerah kehilangan fungsi strategisnya, sementara eksploitasi tetap berlangsung.
“Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat tambang, pemerintah kabupaten/kota sering tidak berdaya,” ungkap Taqwaddin. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa prinsip lex specialis derogat legi generali harus dijalankan, di mana kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam UUPA perlu diprioritaskan.
Ia juga menekankan pentingnya konsensus dalam bentuk kebijakan administratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UUPA dan UU Administrasi Pemerintahan. Pemerintah Aceh, katanya, harus merumuskan kebijakan investasi tambang dan migas yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga menjamin kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan.
Tidak kalah penting, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Aceh menjadi kunci. Tanpa SDM yang kompeten dan siap terlibat di sektor migas dan pertambangan, masyarakat Aceh akan tetap menjadi penonton
. “Lagee buya krung teu dong-dong, buya tamong meuraseuki,” sindir Taqwaddin, mengingatkan pentingnya penguatan kapasitas tenaga kerja lokal agar mampu menikmati hasil dari kekayaan alam sendiri.
Dengan tata kelola yang bijak, kolaborasi antar-lembaga, dan SDM yang unggul, harapan untuk menghapus predikat Aceh sebagai salah satu daerah dengan kasus korupsi tertinggi dan mengubahnya menjadi provinsi yang sejahtera bukanlah sesuatu yang mustahil.
Editor: Akil