NUKILAN.id | Banda Aceh – Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, meminta Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk memperjuangkan agar dana otonomi khusus (Otsus) Aceh tidak mengalami pemotongan dalam upaya efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat. Bahkan, ia mengusulkan agar dana Otsus Aceh ditambah, mengingat tingginya angka kemiskinan di provinsi tersebut serta masih tertinggalnya Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Permintaan itu disampaikan Fadhlullah saat menerima kunjungan kerja Komite II DPD RI di Kantor Gubernur Aceh, Senin (17/2/2025). Kunjungan tersebut dilakukan dalam rangka pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dana Otsus Aceh sendiri akan berakhir pada tahun 2027, namun hingga kini kemiskinan masih menjadi masalah serius. Sebelumnya, almarhum Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah mengkritik mekanisme penyaluran dana Otsus yang dianggap tidak efektif. Menurutnya, birokrasi yang korup menyebabkan bantuan tidak sampai ke masyarakat secara optimal.
“Jadi harus kita tinggalkan cara penyaluran lewat birokrasi, karena birokrasinya korup,” ungkap Rizal pada tahun 2019. Ia menilai bahwa Indonesia seharusnya meniru model penyaluran dana di Alaska, Amerika Serikat.
Di Alaska, kata Rizal, pemerintah pusat menyalurkan dana kesejahteraan langsung ke rekening-rekening penduduk asli, seperti suku Indian, sehingga masyarakat memiliki akses langsung terhadap bantuan tersebut.
“Akhirnya setiap bulan ditransfer aja lewat Bank dana kesejahteraan, mereka masih bisa tetap hidup, kapan mau enak mereka punya uang,” jelasnya.
Namun, apakah model tersebut bisa diterapkan di Aceh? Untuk mengupas lebih dalam, Nukilan.id berbincang dengan Nicholas Siagian, alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Menurutnya, sistem seperti yang diterapkan di Alaska tidak dapat dilakukan di Indonesia karena berbenturan dengan regulasi keuangan negara.
“Jadi kalau misalnya mau mengadopsi kayak di Alaska itu tidak memungkinkan, karena yang namanya dana apapun itu alokasi baik umum maupun khusus itu harus ditransfernya ke badan publik, badan publik itu apa? ya pemerintah daerah. Karena di undang-undang pemerintah daerah maupun keuangan negara pun pasti cara seperti itu bertentangan,” jelas Nicholas kepada Nukilan.id pada Kamis (20/2/2025).
Lebih lanjut, direktur eksekutif Asah Kebijakan Indonesia ini menyebut bahwa jika pemerintah ingin menyalurkan dana langsung ke masyarakat, maka mekanismenya harus melalui pengurangan dana transfer ke daerah dan memperbesar anggaran perlindungan sosial.
“Kalau memang mau ditransfer ke masyarakat langsung opsinya itu adalah dana transfer ke daerahnya dikurangi, nanti jumlah perlinsos untuk ditransfer ke masyarakat itu diperbesar,” tambahnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa skema ini memiliki konsekuensi lain. Jika masyarakat menerima bantuan langsung, maka layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan kemungkinan besar harus mereka tanggung sendiri.
“Jadi pelayanan-pelayanan dasar kepada masyarakat itu nanti mereka bayar sendiri, misalnya kayak biaya pendidikan, kesehatan. Selebihnya pemerintah daerah bisa menyiapkan hal-hal administratif,” tuturnya.
Polemik mengenai efektivitas dana Otsus Aceh terus menjadi perdebatan. Di satu sisi, pemerintah daerah berharap adanya tambahan anggaran untuk mengejar ketertinggalan, namun di sisi lain, muncul kritik terhadap efektivitas penggunaan dana tersebut. Dengan sisa waktu yang tinggal dua tahun sebelum Otsus berakhir, Aceh dihadapkan pada tantangan besar dalam memastikan kesejahteraan masyarakatnya benar-benar meningkat. (XRQ)
Reporter: Akil