NUKILAN.id | Opini — Aceh akan menyelenggarakan Pilkada 2024, di mana visi dan misi kedua pasangan calon gubernur-wakil gubernur telah dipaparkan. Namun, sayangnya, program kerja yang ditawarkan masih terasa normatif dan minim terobosan. Sejauh ini, kita hanya menyaksikan paparan visi besar yang terlihat universal dan tanpa sentuhan inovasi mendalam—terkesan jauh dari pemecahan masalah fundamental Aceh hari ini. Padahal, di tengah urgensi yang dihadapi provinsi ini, Aceh tak cukup hanya dengan visi-misi yang mengulang tema lama; yang diperlukan adalah strategi yang konkret, teknis, dan terukur.
Pada debat kandidat putaran pertama, para pasangan calon semestinya lebih fokus memaparkan solusi-solusi strategis untuk membangun Aceh yang lebih mandiri. Sayangnya, dalam sesi tersebut, tidak ada langkah teknis yang jelas mengenai arah dan sumber pendanaan. Aceh hari ini masih berkutat dalam persoalan kemiskinan ekstrem yang menyentuh angka 14,23%, atau sekitar 804.530 penduduk berada dalam kondisi tersebut—angka yang masih di atas rata-rata nasional. Debat seharusnya memberikan ruang bagi kedua pasangan calon untuk menghadirkan rencana yang jelas tentang cara membangun pondasi ekonomi kuat bagi Aceh, yang harus siap menghadapi situasi tanpa dana otonomi khusus (otsus) yang akan berakhir pada 2027.
Kemiskinan yang kronis, pendidikan yang tertinggal, serta lapangan kerja yang terbatas merupakan potret nyata Aceh saat ini. Sejauh ini, para kandidat masih berkutat pada narasi tentang syariat Islam dan perpanjangan dana otsus, yang meski penting, tidak cukup untuk membawa Aceh keluar dari garis kemiskinan. Seharusnya, program yang ditawarkan mengarah pada penciptaan pendapatan asli daerah (PAD) yang kuat dan mandiri. Aceh harus membangun fiskal yang kokoh, yang memungkinkan masyarakat tak sekadar menggantungkan nasib pada dana bantuan pemerintah, tetapi juga mampu mandiri dalam membangun daerah.
Ironisnya, sektor pendidikan yang selalu menjadi sorotan masih saja dibingkai pada persoalan infrastruktur. Perhatian terhadap pendidikan di Aceh, terutama pada sekolah-sekolah di pedalaman, tidak cukup hanya dengan pembangunan gedung. Tantangan besar yang sebenarnya ada pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), khususnya bagi anak-anak di Aceh yang masih harus menghadapi masalah gizi buruk dan angka stunting yang tinggi. Belum lagi kesejahteraan dan pelatihan bagi guru serta kelengkapan fasilitas belajar yang layak. Namun, lagi-lagi, kita tidak melihat solusi konkret dalam debat kandidat.
Aceh hari ini tidak bisa lagi berpuas diri dengan retorika. APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) kian menipis, dan para kandidat seyogianya berfokus pada menciptakan kemandirian Aceh, terlebih saat dana otsus hilang dari kas daerah. Masalah ini menjadi krusial. Bukan hanya bagi Aceh yang berhadapan dengan ancaman pengangguran di tengah sempitnya lapangan kerja, tetapi juga bagi calon generasi masa depan Aceh yang memerlukan ekonomi mandiri dan stabil.
Untuk itu, kita memerlukan gagasan-gagasan inovatif. Jika kita ingin mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, maka sejahtera menjadi tujuan utama. Aceh membutuhkan pembangunan yang merata, sebuah ekonomi yang kokoh, dan kesinambungan. Masyarakat Aceh yang maju tidak terwujud dari visi-misi tanpa realisasi yang jelas. Kita memerlukan kandidat yang berani dan mampu membuat terobosan, bukan sekadar mengulang visi generik yang dipaparkan dalam setiap masa kontestasi.
Aceh berada pada titik genting. Ini adalah momen kritis untuk mengingatkan para pemimpin masa depan bahwa masyarakat tidak membutuhkan janji normatif, melainkan strategi nyata yang membentuk pondasi ekonomi yang mandiri dan berkelanjutan.(XRQ)
Penulis: Akil Rahmatillah (Alumni Ilmu Pemerintahan-USK)