Mengungkap Sosok Farwiza Farhan, Aktivis Lingkungan Aceh Peraih Magsaysay Award

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Sebuah video relawan banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang menangis haru saat menerima sebutir kelapa muda dari warga korban banjir viral di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Momen tersebut menyentuh publik karena kelapa itu diberikan oleh warga yang justru sedang berada dalam kondisi membutuhkan bantuan.

Hasil penelusuran Nukilan.id mengungkap bahwa relawan dalam video tersebut adalah Farwiza Farhan, aktivis lingkungan asal Aceh yang dikenal luas sebagai pendiri dan direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), organisasi yang berfokus pada perlindungan Ekosistem Leuser.

Farwiza Farhan atau yang akrab disapa Wiza bukanlah sosok biasa dalam dunia konservasi. Namanya telah mendunia dan tercatat sebagai penerima sejumlah penghargaan prestisius internasional, termasuk Whitley Award 2016, Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021, dan Ramon Magsaysay Award 2024 untuk kategori kepemimpinan.

Dari Banda Aceh ke Panggung Dunia

Farwiza lahir di Banda Aceh pada tahun 1986 dan tumbuh dekat dengan alam Aceh. Ia menempuh pendidikan sarjana sains di Universiti Sains Malaysia, lalu melanjutkan magister bidang Environmental Management and Sustainable Development di University of Queensland, Australia.

Setelah menyelesaikan studi, Wiza sempat bekerja di lingkungan pemerintahan dan lembaga pengelola kawasan. Namun, ia memilih turun langsung ke garis depan perjuangan lingkungan karena melihat kesenjangan besar antara kebijakan dan praktik di lapangan, terutama terhadap ancaman kerusakan Ekosistem Leuser.

Dalam sejumlah wawancara, Wiza menyebut Leuser bukan sekadar kawasan hutan, melainkan bagian dari hidupnya. Ia pernah mengatakan, “This landscape is so special…, …I’ve fallen deeper and deeper in love with it.”

Leuser dan Ancaman yang Mengintai

Ekosistem Leuser merupakan salah satu bentang alam hutan hujan terbesar dan terakhir di Asia Tenggara, mencakup wilayah Aceh dan Sumatra Utara dengan luas mencapai jutaan hektare. Kawasan ini menjadi habitat penting bagi gajah Sumatra, harimau Sumatra, orang utan Sumatra, dan badak Sumatra.

Ancaman terhadap kawasan ini datang dari pembukaan perkebunan sawit, pembalakan liar, kebakaran lahan gambut, serta proyek infrastruktur yang tidak mempertimbangkan nilai ekologis.

“Perlindungan Leuser bukan hanya soal satwa, tetapi juga keadilan lingkungan, hak masyarakat lokal, dan mitigasi perubahan iklim,” ujar Wiza dalam berbagai kesempatan.

Berdirinya HAkA dan Perjuangan Hukum

Pada 2012, Wiza bersama rekan-rekannya mendirikan HAkA sebagai organisasi lokal yang menggabungkan advokasi, pemantauan hutan, litigasi strategis, serta pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan desa.

HAkA dikenal luas setelah terlibat dalam sejumlah kemenangan hukum penting terhadap perusahaan yang terbukti merusak kawasan Leuser. Salah satu putusan pengadilan bahkan menjatuhkan denda sekitar US$26 juta kepada perusahaan sawit sebagai ganti rugi pemulihan lingkungan, yang menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

Selain itu, HAkA juga berperan menghentikan atau merevisi sejumlah proyek infrastruktur yang dinilai mengancam habitat satwa liar.

Perempuan sebagai Garda Depan Konservasi

Salah satu ciri khas kepemimpinan Wiza adalah pemberdayaan perempuan. HAkA melatih ratusan perempuan desa sebagai penjaga hutan komunitas, pelapor aktivitas ilegal, dan peserta aktif dalam pengambilan keputusan pengelolaan lahan.

Dalam berbagai forum, Wiza menegaskan pentingnya “mengembalikan kekuasaan kepada komunitas” sebagai kunci konservasi yang berkelanjutan.

Pengakuan Dunia

Dedikasi Wiza mengantarkannya pada berbagai pengakuan internasional. Selain Magsaysay Award 2024, ia juga tercatat sebagai TED Fellow, National Geographic Explorer, serta masuk dalam pengakuan TIME Impact.

Penghargaan tersebut tidak hanya memberi legitimasi, tetapi juga memperluas jaringan, akses pendanaan, dan kolaborasi global bagi upaya perlindungan Leuser.

Tangisan yang Mengingatkan

Momen Farwiza menangis saat menerima kelapa muda dari warga korban banjir Pidie Jaya menjadi simbol kuat dari hubungan antara aktivis dan masyarakat yang ia dampingi selama ini. Bagi Wiza, konservasi bukan kerja dari menara gading, melainkan perjuangan bersama warga yang hidup berdampingan dengan alam.

Perjalanan Farwiza Farhan menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan dapat lahir dari desa, tumbuh melalui komunitas, dan berdampak hingga tingkat dunia. Dari Aceh, ia membuktikan bahwa suara lokal mampu mengguncang panggung global. (XRQ)

Reporter: Akil

Read more

Local News