NUKILAN.ID | INDEPTH — Deru alam yang pecah dari pegunungan itu terdengar seperti lonceng peringatan panjang—bukan hanya tentang hujan yang turun terlalu deras atau tanah yang tak lagi sanggup menahan beban, melainkan tentang kegagalan yang telah lama dibiarkan tumbuh diam-diam.
Dari hulu yang terluka, tanah bergerak dan air meluap tanpa kendali, menyeret desa-desa di Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat ke dalam kubangan lumpur, kehilangan, dan duka yang tak kunjung usai. Di hadapan reruntuhan itu, satu pertanyaan terus menggema: sampai kapan siklus kehancuran ini akan dibiarkan berulang?
Musibah tak mengenal pilih kasih. Rumah-rumah tercerabut dari fondasinya, hamparan sawah lenyap tertimbun material, sungai kehilangan bentuk aslinya. Hingga Sabtu (13/12/2025) pukul 18.08 WIB, korban meninggal tercatat mencapai 1.006 jiwa — sebuah bilangan besar yang tetap tak mampu menggambarkan sepenuhnya luasnya penderitaan yang terjadi.
Di sebuah pos pengungsian, seorang ibu memeluk seragam sekolah anaknya. Kain itu masih basah, warnanya memudar, dan tak lagi layak dikenakan. Ia tak tahu kapan buah hatinya bisa kembali belajar. Ia pun tak tahu apakah rumahnya kelak dapat berdiri kembali di lokasi yang sama, atau harus memulai hidup di tempat yang asing sama sekali.
Ada petani yang sepanjang hidupnya bertumpu pada sebidang lahan. Longsor datang dan menghapus ladang itu dari peta kehidupannya. Ada anak-anak yang terbaring demam, terserang diare akibat ketiadaan air bersih. Malam-malam mereka lalui di tenda darurat, tubuh menggigil, telinga siaga mendengar hujan dengan kecemasan yang sama: apakah tanah akan kembali bergerak?
Pertanyaan khas Sumatera Utara pun terdengar lirih di tengah puing, “cemana” pascabencana? Sementara jawaban negara kerap hadir dalam bentuk deretan angka. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai Rp51,82 triliun.
Aceh sendiri memerlukan sekitar Rp25,41 triliun, Sumatera Barat Rp13,52 triliun, sementara sisanya dialokasikan untuk Sumatera Utara. Dana tersebut direncanakan untuk membangun ulang infrastruktur dasar: jalan, jembatan, rumah, hingga fasilitas publik.
Namun tragedi ini tidak sekadar dipicu oleh curah hujan. Ia merupakan akumulasi luka panjang dari kerusakan wilayah hulu. Dari hutan yang digunduli, dari sungai yang disempitkan, dari izin-izin yang terbit tanpa pertimbangan daya dukung lingkungan.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat setidaknya 118 daerah aliran sungai (DAS) di Aceh dan Sumatera Utara mengalami dampak langsung banjir. Temuan itu berdasarkan analisis citra satelit Sentinel-1A. Angka tersebut menunjukkan bahwa persoalan ini bersifat menyeluruh dan struktural. Bukan sekadar satu sungai, bukan pula satu titik longsor.
“Nah, untuk daerah aliran sungai yang terdampak bencana, ini ada 118 DAS, daerah aliran sungai yang terdampak untuk Aceh dan Sumatera Utara yang bisa teridentifikasi oleh citra satelit kami,” kata Kepala BRIN, Arif Satria.
Jejak Korporasi di Balik Lumpur
Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa sudah waktunya pemerintah menghentikan narasi yang menyederhanakan rangkaian bencana di Sumatera dan Aceh sebagai sekadar kejadian alam. Menurut organisasi lingkungan tersebut, kehancuran hutan, lemahnya tata kelola ekosistem, dan pembiaran terhadap operasi perusahaan saling berkaitan erat dalam menciptakan risiko bencana yang semakin parah.
Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, menilai negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dalam persoalan ini. Bahkan, keberadaan izin resmi justru dinilai sebagai bagian dari persoalan struktural yang memperparah krisis lingkungan.
“Kami memandang bahwa dugaan keterlibatan aktivitas pembalakan liar dan perusahaan-perusahaan pemegang konsesi harus ditindak secara tegas, baik sanksi administratif maupun pidana. Jika sebuah perusahaan terbukti mengabaikan kewajiban perlindungan hutan, membuka kawasan lindung, atau melakukan praktik ilegal, maka negara wajib mengenakan denda, pencabutan izin, pemulihan ekologis wajib tanaman ulang, dan proses hukum atas kejahatan lingkungan. Tanpa itu, bencana akan terus berulang,” ujarnya saat berbincang dengan Inilah.com.
Sapta menambahkan, pembangunan kembali infrastruktur seperti jalan dan rumah tanpa menyelesaikan akar persoalan ekologis hanya akan menunda datangnya bencana berikutnya.
“Pembenahan tata lingkungan hanya mungkin terjadi jika pemerintah berani menata ulang perizinan, membuka data konsesi secara transparan, dan memulihkan fungsi DAS yang rusak akibat ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan. Rehabilitasi tidak cukup bila akar masalahnya, yaitu regulasi longgar, tumpang tindih izin, dan minimnya penegakan hukum tetap dibiarkan. Rekonstruksi fisik pascabencana tidak akan mengurangi risiko jika regulasi yang salah tetap dipertahankan,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya segera dilakukan audit tata ruang secara independen, pemberlakuan moratorium izin baru di kawasan rawan bencana, serta penerapan prinsip strict liability terhadap korporasi yang terbukti memiliki kontribusi terhadap terjadinya banjir dan longsor, sebagai langkah mendesak yang tidak lagi dapat ditunda.
Negara Menagih
Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) mulai menjalankan fungsi penegakan kewajiban negara terhadap puluhan perusahaan yang terbukti memanfaatkan kawasan hutan tanpa mengantongi izin resmi. Hingga Selasa (9/12/2025), tercatat 71 perusahaan dari sektor perkebunan sawit dan pertambangan telah dikenai kewajiban pembayaran denda oleh negara.
“Itu sudah dilakukan per hari ini terhadap 71 perusahaan korporasi, yang terdiri dari korporasi sawit dan tambang,” kata Juru Bicara Satgas PKH, Barita Simanjuntak, Selasa (9/12/2025).
Dari jumlah tersebut, 49 perusahaan sawit tercatat memiliki kewajiban denda senilai Rp9,42 triliun. Namun realisasi pembayaran hingga saat ini baru mencapai Rp1,84 triliun, sementara tiga perusahaan di antaranya belum menunjukkan kepatuhan dengan tidak menyelesaikan kewajiban finansialnya kepada negara.
Adapun dari sektor pertambangan, terdapat 22 perusahaan yang juga ditagih dengan nilai denda jauh lebih besar, mencapai Rp29,2 triliun.
“Nah dari 49 PT, ada 3 korporasi yang belum hadir, belum memenuhi kewajibannya. Satgas PKH sebagai instrumen negara akan melakukan langkah-langkah hukum untuk memastikan dipatuhinya kewajiban terhadap negara,” ujarnya.
Bukan Cuma Replanting
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) memiliki pandangan sejalan dalam melihat akar persoalan ini. Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Artha Siagian, aktivitas pembalakan hutan—baik yang berlangsung tanpa izin maupun yang dilegalkan melalui perizinan resmi—merupakan faktor utama yang memperbesar risiko terjadinya bencana.
“Soal apakah perusahaan harus dihukum secara administratif, bagi kami hukuman secara administrasi itu harus dilakukan, tetapi bukan hanya dana replanting, seharusnya hukuman secara administrasi itu harus dilakukan dengan melakukan pencabutan izin terhadap Perusahaan yang memang menjadi penyebab dari terjadinya banjir dan longsor,” tuturnya kepada Inilah.com.
Ia menegaskan bahwa sanksi administratif tidak boleh berhenti sebatas pembayaran denda semata. Langkah pemulihan lingkungan serta proses penegakan hukum pidana harus turut dijalankan apabila ditemukan pelanggaran.
“Tapi menurut kami sanksi administrasinya itu dua, pencabutan izin dan penagihan tanggung jawab untuk pemulihan lingkungan serta pidana. Dalam proses evaluasinya itu menunjukan adanya pidana lingkungan maka kemudian itu harus diproses secara hukum. Kalau misalnya benar terbukti melakukan pidana lingkungan maka ada sanksi yang harus didapatkan, mulai dari denda dan juga kurungan penjara,” tutur dia.
Lebih jauh, Uli mengingatkan bahwa tanpa pembenahan regulasi yang menyeluruh, upaya rekonstruksi hanya akan mengulang kesalahan lama. Ia juga menyoroti kebijakan yang membuka hampir seluruh wilayah daratan untuk kepentingan pertambangan, terutama melalui relaksasi persyaratan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
“Engga. Jauh lebih besar sebenarnya dia juga harus di ikuti dengan kritik terhadap regulasinya, atau perubahan terhadap regulasinya, jadi harus ada penguatan terhadap beberapa undang-undang,” ujarnya.
Di sisi lain, negara mulai bergerak dengan menagih denda, menyusun anggaran, serta merancang pembangunan kembali wilayah terdampak. Namun tanpa keberanian untuk mencabut izin usaha, menata ulang kerangka regulasi, dan memulihkan kawasan hulu yang telah rusak, seluruh proses rekonstruksi itu hanya akan menjadi jeda sebelum bencana berikutnya terjadi.
Selama hutan masih dipandang semata sebagai komoditas ekonomi dan bukan sebagai penyangga utama kehidupan, maka lumpur akan terus menemukan jalannya turun, dan korban akan kembali tercatat sekadar sebagai angka statistik.
Di balik angka kerugian dan lembaran laporan resmi, ada tanah yang kehilangan daya serapnya, sungai yang kehilangan arah alirnya, dan manusia yang kehilangan rasa aman di rumah sendiri. Setiap tetes hujan kini bukan lagi berkah, melainkan potensi malapetaka. Negara boleh saja merancang ulang bangunan, membangun tanggul, dan menyusun skema pemulihan, tetapi alam mencatat dengan caranya sendiri: bahwa hutan yang dirusak tak pernah lupa, dan keserakahan selalu menagih kembali dengan bunga penderitaan.
Jika hulu tak dipulihkan, izin tak dicabut, dan hukum tak ditegakkan, maka rekonstruksi hanyalah ritual administratif—sementara bencana berikutnya sudah diam-diam menunggu musim hujan berikutnya. (XRQ)
Reporter: AKIL

