NUKILAN.ID | INDEPTH — Hujan telah berhenti, tetapi duka belum benar-benar surut dari tanah Sumatra. Rangkaian banjir bandang dan longsor yang menerjang tiga provinsi besar di pulau ini meninggalkan jejak kehancuran yang nyaris tak terbayangkan: korban jiwa mendekati angka seribu, ratusan orang dinyatakan hilang, dan ribuan lainnya menanggung luka, baik yang tampak di tubuh maupun yang bersemayam di ingatan.
Di balik angka-angka itu, rumah-rumah runtuh, lahan berubah menjadi puing, dan mata pencaharian banyak keluarga lenyap dalam sekejap.
Ketika air surut dan lumpur mulai mengering, pekerjaan rumah pemerintah justru kian menumpuk. Tidak cukup hanya membangun kembali jembatan, sekolah, dan permukiman yang luluh lantak; yang tak kalah penting adalah menata ulang kondisi psikologis para penyintas—mereka yang harus belajar hidup berdampingan dengan trauma, kehilangan, dan ketidakpastian masa depan.
Akar persoalan banjir dan longsor ini, tak lain adalah kerusakan hutan yang berlangsung masif. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menunjukkan, deforestasi di tiga provinsi tersebut melonjak tajam sepanjang 2016–2024. Total hutan yang hilang mencapai 1,4 juta hektare.
Kawasan hutan yang selama ini berfungsi sebagai penyangga ekologis itu, lenyap akibat kerakusan kekuasaan yang berkelindan dengan kepentingan bisnis. Lahan-lahan tersebut dialihfungsikan menjadi kebun sawit, kawasan industri, dan wilayah pertambangan.
Seberapa besar dampak ekonominya? Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat, kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menembus Rp68,67 triliun. Perhitungan ini diperoleh dari pemodelan data hingga 30 November 2025.
Kerugian tersebut meliputi rusaknya rumah warga, merosotnya pendapatan rumah tangga, hancurnya jalan, jembatan, dan fasilitas publik, hingga lenyapnya produksi pertanian akibat lahan terendam.
Dalam menyusun estimasi, Celios menggunakan sejumlah asumsi dasar: biaya kerusakan rumah Rp30 juta per unit; kerusakan jembatan Rp1 miliar per unit; kehilangan pendapatan keluarga selama 20 hari kerja; kerugian hasil panen sawah Rp6.500 per kilogram dengan produktivitas 7 ton per hektare; serta biaya perbaikan jalan Rp100 juta per 1.000 meter. Berdasarkan catatan pemerintah, kebutuhan pemulihan pascabencana mencapai Rp51,82 triliun.
Dana tersebut dialokasikan untuk Aceh sebesar Rp25,41 triliun, mencakup perbaikan 37.546 rumah, jembatan, jalan, rumah sakit, fasilitas pendidikan, dan lahan pertanian. Sumatra Utara membutuhkan Rp12,8 triliun, sementara Sumatra Barat Rp13,52 triliun.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menegaskan bahwa bencana ekologis ini dipicu oleh perubahan tata guna lahan, terutama akibat pembukaan hutan untuk kebun sawit dan aktivitas pertambangan.
“Sementara sumbangan dari tambang dan sawit bagi provinsi Aceh, misalnya, tak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan,” kata Bhima.
Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Hingga 31 Agustus 2025, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan di Aceh hanya mencapai Rp929 miliar. Dana bagi hasil (DBH) sawit tercatat Rp12 miliar, sedangkan DBH minerba Rp56,3 miliar.
Padahal, kerugian terbesar di Aceh justru terjadi pada sektor konstruksi yang mencapai Rp1 triliun, disusul perdagangan besar dan eceran serta pertanian tanaman pangan. Pola serupa juga dialami Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Itu pun belum menghitung kerugian ekonomi rumah tangga warga dan korban jiwa yang tak ternilai.
Atas kondisi tersebut, Celios mendorong pemerintah untuk menerapkan moratorium izin tambang dan perluasan perkebunan sawit, sekaligus mempercepat peralihan menuju model ekonomi yang berkelanjutan dan restoratif demi mencegah bencana ekologis berulang.
“Proporsi hutan Indonesia terhadap luas daratan, semakin anjlok. Forest rent turun dari 0,81 persen (2000) menjadi 0,42 persen (2021), ini menunjukkan menurunnya fungsi ekologis hutan,” papar Bhima.
Secara terpisah, Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, juga melakukan penghitungan kerugian akibat bencana di Sumatra. Angka yang ia peroleh bahkan melampaui estimasi Celios.
“Sekarang sebetulnya kerugian kita berapa? Saya meyakini di atas Rp200 triliun,” kata Marwan di Kompleks Parlemen, Rabu (3/12/2025).
Meski terdapat perbedaan nilai, Marwan sejalan dengan temuan Celios bahwa penyebab utama bencana adalah perambahan hutan yang tidak terkendali. Ia menilai bencana ini sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan pemerintah yang selama bertahun-tahun memberikan legitimasi pengelolaan hutan kepada korporasi.
“Ini harus ada pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya bencana. Apalagi bencana ekologis ini menimbulkan banyak korban jiwa,” tukasnya.
Usai melakukan peninjauan ke sejumlah lokasi terdampak, Marwan mengungkapkan bahwa hingga kini masih terdapat wilayah yang terisolasi dan sulit dijangkau. Walaupun pasokan bantuan relatif mencukupi, persoalan distribusi masih menjadi hambatan utama.
Pengangguran dan Kemiskinan: Wajah Krisis Ekonomi Pascabencana
Banjir bandang disertai longsor yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera telah memukul kehidupan ribuan keluarga. Banyak warga kehilangan tempat tinggal sekaligus sumber penghidupan. Para petani mendapati sawah mereka rusak berat, sementara pedagang pasar tak lagi bisa mencari nafkah karena fasilitas perdagangan hancur diterjang air. Aktivitas ekonomi praktis terhenti di banyak wilayah terdampak.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai, bencana ini akan berdampak langsung pada lonjakan angka kemiskinan dan pengangguran.
“Saya kira, ini bukan peristiwa lokal yang bisa dianggap enteng. Bencana ini, menghantam inti dari kekuatan ekonomi rakyat. Rumah, sawah, ladang dan usaha kecil yang selama puluhan tahun, menopang keluarga. Semuanya rusak,” kata Syafruddin.
Bagi jutaan warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, rumah bukan sekadar bangunan untuk berlindung, melainkan hasil jerih payah seumur hidup yang menjadi penopang masa depan. Begitu pula sawah dan ladang, yang berfungsi sebagai “pabrik” keluarga yang tak pernah berpindah—sumber nafkah yang terus berdenyut dari satu musim ke musim berikutnya.
Ketika rumah serta lahan pertanian itu terendam dan rusak, lonjakan jumlah penduduk miskin menjadi tak terelakkan. Tabungan menguap, sementara modal usaha ikut terkubur bersama lumpur dan puing.
Syafruddin menjelaskan, pelaku usaha kecil dan menengah terpaksa menghentikan kegiatan karena gudang terendam, peralatan rusak, dan akses distribusi terputus. Kondisi tersebut membuat mereka tidak lagi mampu membayar pekerja. Akibatnya, banyak buruh dan karyawan terpaksa dirumahkan.
Ia menambahkan, meski data statistik resmi baru akan merekam kenaikan angka kemiskinan beberapa bulan ke depan, proses kemiskinan itu sendiri sudah berlangsung di lapangan. Tanda-tandanya terlihat dari semakin banyak keluarga yang mengurangi porsi makan, menunda pengobatan, menarik anak dari sekolah berbayar, hingga menjual aset yang masih tersisa.
Berbagai tekanan itu memperlemah denyut ekonomi lokal, baik di desa maupun kota-kota kecil di Pulau Sumatera. Tidak mengherankan jika Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah mengalami tekanan berat.
“Dalam situasi seberat ini, pernyataan pejabat pusat yang seakan meremehkan dampak bencana terhadap target pertumbuhan ekonomi nasional, terasa menyakitkan. Selama ini, tiga provinsi yang terdampak bencana, punya kotriusi besar terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional,” Syfaruddin menambahkan.
Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal III 2025 mencapai 5,04 persen. Pulau Jawa memang menjadi penyumbang terbesar dengan kontribusi 56,68 persen, diikuti Sumatera sebesar 22,42 persen, Kalimantan 8,02 persen, Sulawesi 7,36 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,83 persen, serta Maluku dan Papua 2,69 persen.
Untuk wilayah Sumatera sendiri, pertumbuhan ekonominya pada periode yang sama mencapai 4,9 persen. Dari angka tersebut, Aceh menyumbang 0,25 persen terhadap pertumbuhan nasional, Sumatera Utara 1,06 persen, dan Sumatera Barat 0,25 persen.
Sektor pertanian, pertambangan, energi, serta konsumsi rumah tangga dari Pulau Sumatera selama ini menjadi salah satu penggerak utama mesin ekonomi Indonesia. Ketika sektor-sektor tersebut berfungsi normal, kontribusinya diperhitungkan. Namun saat bencana menghancurkan aset masyarakat, dampaknya justru dianggap tidak berarti.
“Di sinilah urgensi penetapan status bencana nasional menjadi sangat kuat,” kata Syafruddin.
Menurutnya, penetapan status tersebut bukan sekadar formalitas administratif, melainkan kunci pengalihan tanggung jawab utama dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Dengan status itu, negara memiliki dasar kuat untuk mengerahkan sumber daya fiskal, logistik, dan kelembagaan dalam skala besar.
Ia menilai, Presiden Prabowo Subianto memiliki kewenangan untuk mengonsolidasikan BNPB, TNI–Polri, Kementerian Sosial, Kementerian PUPR, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, BUMN logistik, serta pemerintah daerah dalam satu komando terpadu. Melalui mekanisme darurat, proses pengadaan, pembangunan hunian sementara, perbaikan infrastruktur jembatan, hingga pemulihan jaringan listrik dapat berlangsung lebih cepat dan terkoordinasi dengan payung hukum yang jelas.
Pemulihan Ekonomi di Daerah Bencana
Kabar menggembirakan datang bagi sekitar 141.000 pelaku UMKM di Pulau Sumatra yang terdampak bencana alam. Pemerintah menyiapkan skema keringanan cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk membantu mereka bangkit. Namun, fasilitas ini tidak berlaku bagi seluruh debitur KUR yang jumlahnya mencapai 996.000 orang di wilayah tersebut.
“Dari 996.000 debitur KUR di tiga provinsi, diperkirakan 141.000 (debitur) dengan baki debet kira-kira Rp 7,8 triliun. Nah, mereka itu terdampak,” ujar Menko Perekooian Airlangga Hartarto di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Dari jumlah debitur terdampak tersebut, sekitar 63.000 di antaranya berasal dari sektor pertanian dengan total baki debet mencapai Rp3,5 triliun. Pemerintah kini tengah merumuskan regulasi khusus yang mencakup penghapusan sebagian tagihan kredit, restrukturisasi pinjaman, serta pembukaan akses pembiayaan baru dengan suku bunga sangat rendah.
“Di mana KUR di daerah bencana akan segera dibuatkan regulasi yang tentunya mulai dari penyelesaian penghapusbukuan dan juga restarted KUR dengan bunga yang lebih rendah, khusus di wilayah terdampak,” tambah Airlangga.
Dalam fase pemulihan pascabencana, pemerintah akan memberlakukan skema bunga nol persen. Setelah periode tersebut berakhir, bunga kredit yang dikenakan akan sangat rendah, yakni hanya 3 persen, jauh di bawah bunga KUR normal yang berada di kisaran 6–9 persen.
“Semua memudahkan karena sebetulnya kan mereka akan diberikan kemudahan untuk tidak membayar cicilan di tahun bencana. Kemudian juga bunganya akan dinolkan. Ke depannya kita akan restart dengan bunga yang lebih rendah 3 persen,” tambah Airlangga.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi, M Ismail Riyadi, telah menetapkan kebijakan khusus terkait perlakuan terhadap kredit debitur yang terdampak bencana di Sumatra. Kebijakan tersebut disusun setelah dilakukan pendataan serta penilaian menyeluruh mengenai dampak bencana terhadap kondisi ekonomi daerah dan kemampuan pembayaran debitur.
“Pemberian perlakuan khusus itu dilakukan sebagai bagian dari mitigasi risiko agar bencana tidak berdampak sistemik serta untuk mendukung percepatan pemulihan aktivitas ekonomi daerah,” ucap Ismail, Kamis (11/12).
Ketentuan teknis kebijakan ini mengacu pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 19 Tahun 2022 tentang Perlakuan Khusus bagi Lembaga Jasa Keuangan di wilayah dan sektor tertentu yang terdampak bencana.
Dalam regulasi tersebut, terdapat tiga poin utama perlakuan khusus. Pertama, dilakukan penilaian kualitas kredit berdasarkan ketepatan pembayaran untuk plafon pinjaman hingga Rp10 miliar. Kedua, kredit yang direstrukturisasi dapat langsung dikategorikan sebagai lancar, baik restrukturisasi dilakukan sebelum maupun sesudah debitur terdampak bencana. Untuk platform fintech peer to peer (P2P) lending, restrukturisasi hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari pemberi dana.
Ketiga, debitur terdampak tetap dapat memperoleh pembiayaan baru, dengan kualitas kredit yang dinilai secara terpisah tanpa menerapkan prinsip one obligor.
Kebijakan perlakuan khusus ini berlaku selama tiga tahun terhitung sejak ditetapkan pada 10 Desember 2025.
Selain itu, OJK juga menginstruksikan seluruh perusahaan asuransi dan reasuransi agar segera mengaktifkan mekanisme tanggap bencana, menyederhanakan prosedur klaim, memetakan polis yang terdampak, menjalankan disaster recovery plan bila diperlukan, serta memperkuat layanan dan komunikasi kepada para nasabah.
“OJK juga berkoordinasi dengan BNPB, BPBD, dan reasuradur, termasuk menyampaikan laporan perkembangan penanganan klaim secara berkala kepada OJK,” kata dia.
Kondisi Psikis Penyintas
Banjir bandang yang menerjang tiga provinsi besar di Pulau Sumatera — Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat — tidak hanya menimbulkan kerugian material dan ekonomi, tetapi juga menyisakan dampak mendalam bagi kondisi kesehatan masyarakat.
Bencana tersebut bukan sekadar menghancurkan rumah warga, fasilitas umum, dan infrastruktur, melainkan juga memukul kesehatan fisik, emosional, serta psikologis para korban secara serius.
Psikolog sekaligus Associate Professor Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, menyampaikan bahwa ribuan korban dilaporkan hilang dan hingga kini sebagian besar belum berhasil ditemukan.
“Kerugian ini, bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat,” papar Iqbal, Jakarta, Sabtu (13/12/2025).
Dari hasil pemantauannya di lokasi terdampak, Iqbal menilai para penyintas bencana memikul beban psikologis yang tidak kalah berat dibandingkan kerusakan fisik yang mereka alami.
Mereka harus menghadapi kehilangan orang-orang tercinta, harta benda, lahan, hewan ternak, serta mata pencaharian yang selama ini menopang kehidupan keluarga. Akumulasi kehilangan tersebut menciptakan tekanan mental yang sangat besar. “Dampak psikologis setelah bencana, yakni, acute stress reaction, anxiety disorders. Prolonged grief disorder, dan post-traumatic stress disorder (PTSD),” ungkapnya.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30 hingga 50 persen korban selamat dari bencana besar berpotensi mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama pascabencana. UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak dan lansia termasuk kelompok yang paling rentan mengalami gangguan psikologis jangka panjang.
Dalam temuan lapangannya, Iqbal melihat berbagai gejala muncul di tengah masyarakat, mulai dari gangguan tidur, mimpi buruk, rasa takut berlebihan terhadap suara hujan atau gemuruh, menurunnya minat beraktivitas, kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, hingga munculnya tanda-tanda depresi.
Karena itu, menurutnya, dampak psikologis harus segera ditangani. Alasannya, pertama, bencana menghadirkan tekanan ekstrem yang melampaui kemampuan individu dalam menghadapi masalah. “Ketika individu merasa tidak berdaya dan situasi dianggap tidak terkendali, muncul kecemasan, ketegangan, dan keputusasaan,” ungkapnya.
Kedua, trauma tidak hanya berupa kenangan buruk semata, tetapi menjadi pengalaman emosional yang tertanam di dalam tubuh. Ia muncul melalui gejala seperti kewaspadaan berlebihan, ketegangan otot, hingga reaksi panik saat menghadapi pemicu tertentu.
“Ketiga, pemulihan trauma tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, keluarga, komunitas, kebijakan pemerintah, hingga sistem budaya. Karena itu, dukungan psikososial harus diberikan secara berlapis dan komprehensif,” pungkasnya.
Di balik lumpur yang mengering di dinding rumah, jembatan yang runtuh, dan sawah yang berubah menjadi lautan kerikil, luka yang paling sunyi justru tersimpan di dalam benak para penyintas. Mereka menata kembali hidup bukan hanya dengan cangkul dan palu, tetapi juga dengan keberanian untuk bangun setiap pagi, melawan ketakutan, kecemasan, dan kehilangan yang belum sepenuhnya pulih.
Bencana mungkin telah berlalu dari layar berita, tetapi proses penyembuhan mental masyarakat masih berlangsung — perlahan, rapuh, dan membutuhkan kehadiran nyata dari semua pihak.(XRQ)
Reporter: AKIL

