NUKILAN.ID | INDEPTH — Batang-batang kayu raksasa itu bukan rebah karena terpaan angin, juga bukan semata terseret arus banjir. Mereka lebih dulu ditebang oleh tangan manusia, ditinggalkan di lahan yang telah kehilangan pelindung vegetasinya, lalu berubah menjadi peluru penghancur ketika hujan turun tanpa memberi ampun.
Sepekan setelah bencana, udara di banyak wilayah Sumatera masih menyimpan bau tanah basah bercampur getir getah kayu. Dari Aceh hingga Sumatera Barat, pemandangan kehancuran terbentang seperti potongan mimpi buruk: ribuan gelondongan kayu menumpuk di badan jalan, meremukkan rumah-rumah warga, menyumbat aliran sungai, bahkan terbawa hingga ke bibir pantai.
Masyarakat kemudian memberi nama pada peristiwa itu—“tsunami kayu”. Sebuah bencana ketika banjir tidak hanya membawa air, tetapi juga muatan mematikan berupa balok-balok raksasa yang meluncur tanpa kendali, menghantam apa pun yang dilaluinya.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat tragedi ini merenggut lebih dari 900 korban jiwa dan memukul kehidupan 1,5 juta penduduk di 46 kabupaten. Pemerintah, lewat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, segera menunjuk Siklon Senyar sebagai penyebab utama—anomali cuaca yang memicu hujan ekstrem berkepanjangan.
Namun bagi para penyintas dan pegiat lingkungan, penjelasan “amarah alam” terasa terlalu sederhana. Ketika genangan surut, tanda-tanda kejahatan ekologis justru muncul dengan terang. Penelusuran di kawasan terdampak mengungkap bahwa tragedi ini merupakan hasil panjang dari rusaknya tata kelola wilayah hulu.
Pertanyaan mendasarnya pun mengemuka: apakah balok-balok kayu mematikan itu merupakan pohon yang tumbang secara alami, ataukah limbah eksploitasi hutan yang sejak lama dibiarkan menjadi bom waktu?
Keseragaman Mayat-Mayat Pohon
Tim investigasi menyusuri sejumlah titik yang terdampak paling parah, dari kawasan Danau Singkarak, lembah-lembah Padang, hingga daerah terpencil seperti Garoga, Batu Hampar, dan Melawi. Di setiap lokasi, tumpukan batang kayu tidak sekadar menjadi sisa bencana, melainkan berubah menjadi rangkaian bukti.
Secara kasat mata, kondisi kayu-kayu itu menunjukkan kejanggalan. Seandainya material tersebut berasal dari hutan alam yang runtuh akibat longsor, seharusnya komposisinya beragam: berbagai jenis pohon, ukuran batang yang tidak seragam, disertai akar yang tercabut dan ranting yang patah secara acak.
Namun kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Batang-batang yang hanyut justru didominasi ukuran diameter yang relatif sama. Kulit kayunya banyak yang terkelupas bukan semata karena benturan arus sungai, melainkan mengindikasikan jenis tanaman budidaya industri seperti eukaliptus, akasia, dan sengon — spesies khas Hutan Tanaman Industri (HTI), bukan vegetasi alami rimba Sumatera.
Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah batang menyimpan “jejak tangan manusia”. Permukaan potongannya tampak rapi, lurus, dan presisi.
Temuan ini juga diakui Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/12/2025). Kepolisian, kata dia, menemukan indikasi kuat adanya keterlibatan aktivitas manusia dalam keberadaan kayu-kayu tersebut.
“Dari hasil pengecekan di lapangan memang ditemukan berbagai jenis kayu. Namun ada beberapa yang jelas memperlihatkan bekas potongan gergaji mesin. Ini yang sedang kami dalami,” ujar Sigit.
Pernyataan itu menjadi penanda awal — smoking gun — yang meruntuhkan klaim bahwa seluruh material kayu berasal dari bencana alam murni. Bekas potongan chainsaw merupakan bukti tak terbantahkan dari aktivitas penebangan, entah legal ataupun ilegal.
Jejak “Zero Burning” yang Berujung Petaka
Penelusuran kemudian mengarah pada sumber persoalan: dari mana ribuan kubik kayu ini berasal, dan bagaimana bisa bergerak serentak menghantam wilayah hilir?
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan potongan penting dari teka-teki itu. Dalam rapat kerja bersama DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Rabu (3/12/2025), ia menjelaskan bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan praktik pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah.
Kebijakan zero burning—yang selama ini diterapkan untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap—ternyata menyimpan risiko besar jika tidak disertai pengawasan ketat.
“Ada indikasi pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log kayu. Karena zero burning, kayu itu tidak dibakar, tetapi hanya dipinggirkan,” kata Hanif.
Di lapangan, proses land clearing menggunakan alat berat sering kali hanya memindahkan batang-batang pohon hasil tebangan ke pinggir bukit, tebing, atau alur sungai mati. Para operator menghindari pembakaran karena khawatir terkena sanksi hukum dan terpantau satelit melalui titik panas (hotspot).
Tumpukan kayu yang dianggap “limbah” inilah yang kemudian berubah menjadi bom ekologis tertunda. Saat hujan ekstrem akibat Siklon Senyar mengguyur wilayah hulu, volume air yang luar biasa besar menyeret seluruh tumpukan kayu itu secara bersamaan ke bawah.
“Banjir yang besar itulah yang akhirnya mendorong gelondongan kayu ini menjadi bencana berlipat,” ujar Hanif.
Kayu-kayu tersebut berubah menjadi mesin penghancur alami. Meluncur dari daerah hulu yang curam—seperti perbukitan Bukit Barisan di Sumatra Barat dan Aceh—gelondongan kayu itu menghantam jembatan, bangunan beton, dan permukiman warga dengan kekuatan dahsyat, meratakan apa pun yang dilaluinya hanya dalam hitungan detik.
Hulu yang Terbuka dan Runtuhnya “Perisai” Hutan
Untuk memahami mengapa air dapat melesat begitu deras dan destruktif, perhatian harus diarahkan ke kondisi ekologis kawasan hulu. Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Prof. Bambang Hero Saharjo, memberikan penjelasan kritis mengenai akar persoalan tersebut.
Menurut Prof. Bambang, anggapan bahwa gelondongan kayu yang terbawa banjir berasal dari “pohon tumbang alami” tidak memiliki dasar kuat bila ditinjau dari skala kerusakan yang terjadi. Hutan hujan tropis Sumatera, dalam kondisi sehat, sejatinya memiliki sistem perlindungan ekologis yang sangat kompleks dan kokoh.
“Segala yang diciptakan Tuhan tentu memiliki fungsi besar bagi keselamatan manusia dan alam,” ujarnya.
Ia memaparkan bahwa struktur hutan ideal terdiri atas tajuk yang rapat dan berlapis. Ketika hujan turun, air tidak langsung menghantam permukaan tanah. Daun-daun menahan sebagian besar air, lalu menyalurkannya perlahan melalui batang pohon (stem flow), sementara lapisan serasah dan akar di lantai hutan menyerap sisa air tersebut. Mekanisme ini berfungsi sebagai rem alami yang mencegah limpasan air berlebihan.
Namun, campur tangan manusia telah merusak sistem pertahanan itu. Pembukaan lahan dan deforestasi membuat kanopi hutan terbelah, membuka ruang bagi air hujan untuk jatuh bebas ke tanah.
“Ketika pembalakan liar masuk, celah antar-tajuk semakin menganga,” jelas Prof. Bambang.
Dalam kondisi seperti itu, air hujan langsung menghantam tanah yang tak lagi terlindungi, mempercepat erosi, dan menyeret apa pun yang berada di permukaan—termasuk sisa-sisa kayu tebangan. Ia menegaskan, dalam ekosistem alami, tumbangnya pohon biasanya hanya satu atau dua batang, bukan ribuan seperti yang ditemukan pascabencana.
“Kayu-kayu besar yang terbawa itu adalah akibat langsung dari runtuhnya lapisan-lapisan vegetasi karena aktivitas manusia,” pungkasnya.
Statistik Suram Deforestasi Sumatera
Bencana ini bukanlah peristiwa yang datang tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi dari degradasi lingkungan yang terus memburuk dari tahun ke tahun. Paparan data yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di hadapan Komisi IV DPR RI pada Kamis (4/12/2025) membuka tabir betapa gentingnya kondisi tersebut.
Kendati pemerintah mengklaim terjadi penurunan laju deforestasi secara nasional, gambaran yang muncul di wilayah terdampak bencana—Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—justru menunjukkan arah sebaliknya. Dalam rentang lima tahun terakhir (2020–2025), ketiga provinsi ini mengalami peningkatan kerusakan hutan pada level yang mengkhawatirkan.
Di Aceh, lonjakan terjadi secara ekstrem. Jika pada 2020 deforestasi tercatat sebesar 1.918 hektare, maka hingga September 2025 angka tersebut melonjak menjadi 10.100 hektare—kenaikan fantastis sebesar 426 persen.
Sumatera Utara pun tak jauh berbeda. Dalam periode yang sama, deforestasi membengkak hampir empat kali lipat, dari 1.233 hektare menjadi 6.142 hektare.
Namun rekor paling mencolok terjadi di Sumatera Barat. Provinsi yang selama ini dikenal dengan lanskap alamnya yang memesona mencatat lonjakan deforestasi hingga 637 persen—dari 774 hektare pada periode 2019–2020 menjadi 5.705 hektare pada 2024–2025.
Deret angka tersebut sejalan dengan titik-titik lokasi ditemukannya fenomena “tsunami kayu”. Pembukaan hutan secara besar-besaran di kawasan bertopografi curam seperti Aceh dan Sumatera Barat menciptakan kombinasi mematikan: tanah gundul kehilangan daya serap, sementara batang-batang kayu sisa pembalakan berubah menjadi proyektil yang meluncur bersama derasnya air, memperparah dampak bencana.
Investigasi Teknologi dan Janji Penegakan Hukum
Di tengah tekanan publik yang terus menguat, pemerintah mulai mengambil langkah konkret. Kementerian Kehutanan bersama Kepolisian RI membentuk satuan tugas gabungan untuk melakukan penyelidikan forensik terhadap temuan kayu-kayu yang diduga bermasalah tersebut.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa proses investigasi akan memanfaatkan AIKO (Alat Identifikasi Kayu Otomatis), sebuah teknologi canggih yang mampu membaca struktur anatomi kayu guna memastikan jenis spesies sekaligus menelusuri asal-usulnya secara presisi.
“Melalui AIKO, kita bisa mengetahui karakteristik kayu, termasuk bila terdapat cacat atau kejanggalan tertentu,” ujar Raja Juli.
Tak hanya mengandalkan teknologi laboratorium, tim juga melakukan pemantauan udara menggunakan drone untuk menyisir aliran daerah aliran sungai hingga ke wilayah hulu. Langkah ini bertujuan mengungkap titik awal asal kayu, apakah berasal dari konsesi perusahaan yang melanggar ketentuan, atau dari praktik illegal logging yang melibatkan pihak-pihak tertentu.
Menteri Kehutanan menegaskan, apabila dalam proses investigasi ditemukan unsur pidana, maka aparat penegak hukum akan bertindak tanpa kompromi. “Setiap pelanggaran akan kami tindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Sementara itu, Polri juga menginstruksikan seluruh jajarannya untuk melakukan penelusuran dari hulu hingga ke hilir. Sinergi dengan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) diharapkan dapat membongkar jaringan kejahatan lingkungan yang selama ini kerap berlindung di balik narasi bencana alam.
Bencana yang Diciptakan Manusia
Di antara puing kehancuran itu, jejak-jejak kecil berbicara lantang: serpihan bekas gergaji mesin, batang-batang kayu yang seragam dari hutan tanaman industri, serta angka deforestasi yang menanjak tajam dalam catatan resmi. Semua potongan ini menyusun satu kesimpulan awal—bahwa “tsunami kayu” di Sumatera bukanlah semata amukan alam, melainkan rangkaian peristiwa yang dirancang oleh tangan manusia.
Kayu-kayu itu tidak runtuh karena badai atau terseret arus banjir. Mereka ditebang lebih dulu, ditelantarkan di lahan yang telah kehilangan tutupan hijau, lalu berubah menjadi mesin penghancur ketika hujan deras turun tanpa ampun.
Kini warga Sumatera hanya bisa menunggu dengan cemas. Akankah proses penyelidikan ini berakhir pada tindakan tegas terhadap korporasi dan para cukong kayu? Ataukah ia akan memudar perlahan, seperti embun pagi yang menguap sebelum matahari meninggi—sementara ancaman tsunami kayu berikutnya kembali bersembunyi di balik musim hujan yang akan datang? Forensik bencana telah menyampaikan kesaksiannya; kini hukumlah yang diuji untuk menjawabnya. (XRQ)
Reporter: AKIL

