Bukan Saatnya Gengsi: Sumatera Butuh Bantuan Dunia

Share

NUKILAN.ID | OPINI – Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra kembali memperlihatkan betapa rentannya masyarakat ketika negara tidak bergerak cukup cepat merespons situasi darurat. Di tengah kerusakan yang meluas dan ribuan warga yang dipaksa mengungsi, keputusan untuk menolak bantuan internasional bukan hanya tidak bijaksana, tetapi juga berpotensi memperpanjang penderitaan warga yang masih berjuang untuk bertahan hidup.

Kerusakan infrastruktur yang parah, terhambatnya distribusi logistik, hingga beban anggaran daerah yang kian menipis menunjukkan bahwa kapasitas pemerintah daerah sudah berada di ambang batas. Beberapa kepala daerah bahkan menyurati Presiden untuk meminta bantuan langsung dari pemerintah pusat karena mengaku tidak mampu menangani situasi dengan sumber daya yang mereka miliki. Pada titik ini, jelas bahwa krisis seperti ini tidak bisa dibebankan hanya kepada daerah. Ketika skala bencana melampaui kemampuan lokal, maka seluruh mekanisme nasional harus diaktifkan—termasuk membuka ruang bagi bantuan internasional.

Pengalaman Indonesia pada masa lalu sebenarnya menawarkan pelajaran berharga yang tidak seharusnya dilupakan. Tsunami Aceh 2004 menjadi bukti kuat bahwa keterbukaan terhadap bantuan global justru mempercepat proses pemulihan. Ketika itu, lebih dari 50 negara datang membantu, membawa dukungan finansial, teknis, dan kemanusiaan. Kolaborasi global tersebut memungkinkan percepatan rekonstruksi infrastruktur, normalisasi layanan publik, serta rehabilitasi jangka panjang yang berjalan dengan lebih terukur dan transparan. Berkat dukungan tersebut, Aceh bangkit jauh lebih cepat dibanding banyak prediksi awal. Sejarah ini seharusnya menjadi rujukan strategis bagi pemerintah hari ini untuk melihat bahwa bekerja bersama dunia bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian moral untuk mengutamakan keselamatan warga.

Lebih jauh, penting untuk ditegaskan bahwa menerima bantuan asing bukanlah pelanggaran kedaulatan. Indonesia telah mengatur secara jelas peran komunitas internasional dalam penanggulangan bencana melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 serta Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008. Regulasi tersebut dirancang agar negara dapat memaksimalkan semua sumber daya ketika bencana berada di luar kemampuan daerah atau bahkan nasional. Mengabaikan peluang bantuan asing berarti tidak memanfaatkan instrumen hukum yang memang dibuat untuk melindungi rakyat.

Berbagai penelitian global juga menunjukkan bahwa keterlibatan internasional dalam penanganan bencana dapat mempercepat pemulihan sosial dan ekonomi. Dukungan finansial untuk rekonstruksi terbukti mampu membantu aktivitas ekonomi kembali berjalan, termasuk bagi usaha mikro dan kecil yang menjadi tulang punggung masyarakat lokal. Pengalaman di berbagai negara, seperti pemulihan pascagempa Wenchuan di Tiongkok pada 2008, memperlihatkan bagaimana bantuan rekonstruksi mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah terdampak serta mempersingkat masa pemulihan. Semua itu berangkat dari kesadaran bahwa makin cepat infrastruktur pulih—jalan, jembatan, sekolah, fasilitas kesehatan—maka makin cepat pula masyarakat dapat kembali beraktivitas secara normal.

Pada akhirnya, pemulihan pascabencana bukan hanya soal membangun ulang bangunan yang runtuh. Ini tentang anak-anak yang harus kembali bersekolah, para orang tua yang perlu bekerja untuk menghidupi keluarga, guru dan murid yang menantikan lancarnya proses belajar, serta masyarakat yang ingin kembali menjalani hidup yang bermartabat. Setiap hari yang terlewati tanpa respons cepat adalah hari yang memperpanjang penderitaan.

Karena itu, skala kerusakan yang terjadi di Sumatra, ditambah keterbatasan fiskal daerah serta permintaan langsung dari para kepala daerah, sebenarnya cukup kuat untuk menjadi dasar penetapan status Bencana Nasional. Penetapan ini akan membuka jalan bagi koordinasi yang lebih luas, mobilisasi anggaran yang lebih besar, serta akses formal untuk menerima bantuan internasional yang dapat mempercepat pemulihan.

Menerima bantuan dunia bukanlah tanda lemahnya negara. Sebaliknya, itu adalah wujud kedewasaan politik serta komitmen kemanusiaan bahwa keselamatan rakyat harus ditempatkan di atas semua kepentingan lain. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan, hingga lembaga internasional harus bergerak bersama dalam bingkai kolaborasi yang tulus. Di tengah situasi di mana nyawa dipertaruhkan, yang diperlukan bukanlah gengsi, melainkan keberanian untuk membuka diri.

Sudah saatnya pemerintah melihat bencana ini sebagai panggilan kemanusiaan. Jika bantuan internasional dapat mempercepat pemulihan dan menyelamatkan lebih banyak warga, maka tidak ada alasan untuk menutup diri. Pada momen seperti ini, yang harus diutamakan hanyalah rakyat.

Penulis: Aldi

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News