NUKILAN.ID | INDEPTH – Masuknya 250 ton beras ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang, Aceh, memantik polemik nasional. Perbedaan pandangan antara Kementerian Pertanian dan Pemerintah Aceh membuat persoalan ini mengemuka, bahkan berujung pada penyegelan beras oleh aparat kepolisian.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman secara tegas menilai impor tersebut ilegal. Ia menyebut Aceh memiliki neraca produksi beras surplus hingga 871.400 ton, sementara Sabang sendiri surplus sekitar 970 ton. Dengan demikian, ia menilai tidak ada alasan mendesak untuk impor.
“Stok kita aman. Aceh surplus, Sabang surplus, nasional juga surplus. Jadi kalau ada pihak yang tetap nekat memasukkan beras ilegal, itu jelas bukan urusan kebutuhan. itu pelanggaran. Dan negara akan bertindak tegas,” kata Amran, Selasa (25/11).
Amran menambahkan, cadangan beras pemerintah berada dalam kondisi terbaik sepanjang sejarah, dan pemerintah berkomitmen tidak melakukan impor beras tahun ini. Ia menegaskan bahwa kegiatan impor di Sabang dilakukan tanpa izin pemerintah pusat. Beras tersebut kini disegel kepolisian. Ia juga mengaku langsung menghubungi Gubernur Aceh setelah menerima laporan. “Begitu laporan masuk, saya langsung menelepon Gubernur Aceh untuk memastikan semuanya bergerak cepat. Tidak boleh ada toleransi untuk tindakan ilegal seperti ini. Kalau tidak ada izin impor, negara harus hadir tegas,” ujarnya.
Dari sisi pemerintah pusat, Kementerian Koordinator Bidang Pangan menegaskan hal serupa. Deputi Tatan Yuliono memastikan pihaknya tidak pernah memberi lampu hijau untuk impor. Ia menilai cadangan beras Aceh, yang mencapai 94.888 ton pada 14 November 2025, sudah mencukupi kebutuhan.
“Tidak ada urgensi untuk melakukan importasi beras. Pada rapat koordinasi teknis tanggal 14 November 2025, Kementerian Koordinator Bidang Pangan tidak menyetujui impor beras tersebut,” kata Tatan.
Pemerintah Aceh Membantah: Impor Sah dan Sesuai Regulasi
Berbeda dengan pemerintah pusat, Pemerintah Aceh kukuh menyatakan bahwa impor tersebut tidak melanggar aturan apa pun. Juru Bicara Gubernur Aceh, Muhammad MTA, menegaskan bahwa Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) memiliki kewenangan khusus mengeluarkan izin impor berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2000.
BPKS tercatat telah memberikan izin pemasukan 250 ton beras asal Thailand. Bea Cukai Sabang bahkan menerbitkan surat resmi S-106/KBC.0101/2025 pada 7 November 2025 untuk mengizinkan masuknya beras tersebut, dengan syarat hanya boleh didistribusikan di wilayah KPBPB Sabang yang meliputi lima pulau: Weh, Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo.
Muhammad menyebut pernyataan Menteri Pertanian sebagai bentuk pengabaian terhadap kewenangan Aceh.
“Pernyataan ilegal yang disampaikan Menteri Amran jelas tidak berdasar dan mereduksi kewenangan Aceh, khususnya Badan Pengusahaan Kawasan Sabang,” kata dia.
Ia menjelaskan, kebijakan impor dilakukan sebagai jalan keluar atas mahalnya harga beras di Sabang jika dipasok dari daratan Sumatra. Data Polda Aceh menunjukkan harga beras medium di Sabang mencapai Rp 15.300 per kilogram pada 23 Oktober 2025, sedikit di atas harga eceran tertinggi Rp 15.000 per kg. Satgas Pengendalian Harga Beras Aceh menyebut tingginya harga dipicu oleh biaya distribusi yang besar ke Pulau Weh.
Karena itu, impor 250 ton beras dinilai sebagai langkah transisi strategis demi menjaga stabilitas harga.
Menunggu Uji Laboratorium dan Keputusan Final
Pemerintah Aceh berharap Menteri Pertanian segera menginstruksikan uji laboratorium terhadap beras impor tersebut, sesuai prosedur Badan Karantina Pertanian sebelum dilepas untuk konsumsi. Muhammad menegaskan permintaan tersebut.
“Gubernur Aceh berharap Menteri Pertanian segera melepas 250 ton beras impor kepada masyarakat yang ada di kawasan Sabang,” ujarnya.
Polemik ini memperlihatkan adanya irisan kewenangan antara pusat dan daerah, khususnya di kawasan dengan status perdagangan bebas seperti Sabang. Sementara beras masih berada dalam penyegelan, kepastian distribusinya kini bergantung pada hasil uji serta sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan Provinsi Aceh. (XRQ)
Reporter: AKIL





