Ketua IKA IP USK Kritik Pemberian Gelar ke Tito: Banyak Tokoh Aceh yang Lebih Layak

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Penganugerahan gelar kehormatan Petua Panglima Hukom Nanggroe kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian oleh Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haythar, pada Rabu, 12 November 2025, memunculkan perdebatan di tengah masyarakat.

Prosesi yang berlangsung di Meuligoe Wali Nanggroe Aceh, Aceh Besar, itu menuai sorotan karena publik mempertanyakan kontribusi nyata Tito bagi Aceh.

Ketua Ikatan Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Syiah Kuala (USK), T. Auliya Rahman, yang saat ini menempuh studi Magister Islam Pembangunan dan Kebijakan Publik di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, turut memberikan pandangannya. Ia menilai penganugerahan tersebut tidak sejalan dengan prinsip kehormatan adat yang seharusnya diberikan kepada sosok dengan rekam jejak kuat bagi Aceh.

“Sepertinya pengurus lembaga adat di Aceh telah kehabisan ide untuk menjalankan agenda yang benar-benar berdampak bagi pelestarian adat dan pengembangan pengetahuan,” ujarnya.

Auliya melihat kecenderungan lembaga adat lebih fokus pada kegiatan seremonial ketimbang program substansial yang dapat memperkuat posisi adat dalam kehidupan masyarakat.

“Acara seperti itu jelas tidak membutuhkan waktu lama, tidak perlu pemikiran mendalam, dan yang terpenting adalah anggaran tetap terserap. Efisien bagi mereka, tapi nyaris tak ada nilai tambah bagi masyarakat,” lanjutnya.

Auliya juga menyoroti kemungkinan lain di balik keputusan penganugerahan gelar tersebut. Ia menilai adanya kegagalan lembaga adat dalam menggali sosok-sosok lokal yang layak dihormati, sehingga muncul kecenderungan memberikan gelar kepada tokoh luar Aceh.

“Sebut saja almarhum Adnan Ganto seorang bankir dunia, almarhum Teuku Iskandar menjadi guru besar di Belanda, almarhum Teuku Jacob seorang Bapak Paleoantropologi Indonesia, dan banyak nama lain,” ungkapnya.

Tak hanya dari generasi terdahulu, Auliya menilai bahwa tokoh Aceh masa kini pun tidak kekurangan figur berkualitas.

“Di generasi kini pun tidak kurang figur yang layak dihargai, seperti Endang Dewi Wahyuni seorang penggagas Dayah Eco-friendly, Umi Hanisah mendirikan dayah bagi perempuan korban kekerasan, atau Iskandar Aceh Rakitan seorang pelestari seni ukir batee nisan dan Rumoh Aceh,” tambahnya.

Namun kenyataannya, kata dia, pilihan gelar tidak diberikan kepada para tokoh tersebut. Ia menduga bagi pengurus lembaga adat relasi kuasa lebih penting dibanding ilmu.

“Lagipula, ada kemungkinan para panitia bahkan tidak memahami apa itu eco-friendly atau paleoantropologi. Tidak penting, bagi mereka,” tutupnya. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img

Read more

Local News