NUKILAN.ID | TAPAKTUAN – Derasnya arus pembangunan di Aceh Selatan dalam beberapa tahun terakhir membawa kembali perdebatan lama: sejauh mana eksploitasi sumber daya alam dapat dijadikan landasan kemajuan daerah.
Di tengah visi Aceh Selatan Maju yang terus digaungkan, sejumlah kalangan menilai bahwa pembangunan tetap membutuhkan batas agar tidak menggadaikan kelestarian lingkungan. Data menunjukkan bahwa Provinsi Aceh kini memiliki 64 izin tambang legal, dan 7 di antaranya berada di Aceh Selatan, sebuah angka yang memantik kekhawatiran tersendiri.
Aktivis Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI), Tonicko Anggara, menjadi salah satu suara yang konsisten menyuarakan kritik terhadap arah kebijakan tersebut. Baginya, persoalan tambang bukan hanya soal izin—melainkan soal kesiapan kolektif daerah dalam menghadapi dampaknya.
“Saat ini kita tentunya tidak perlu lagi mempertanyakan eksistensi tambang di Aceh, terkhususnya di Aceh Selatan. Melainkan mengganti pertanyaan itu menjadi: Sudah siapkah kita untuk menerima dampaknya?” ujarnya kepada Nukilan.id, Sabtu (8/11/2025).
Menurut Tonicko, pertanyaan tersebut penting, sebab pertambangan tidak hanya membawa aktivitas ekonomi, tetapi juga rentetan konsekuensi lingkungan yang berpotensi merusak tatanan hidup masyarakat. Ia menilai bahwa ancaman pertambangan kerap dipandang sebelah mata oleh pemangku kebijakan, padahal dampaknya bisa berlangsung dalam jangka panjang.
“Karena konsekuensi dari pertambangan itu sendiri adalah ancaman terhadap sumber air sebagai kebutuhan primer manusia, habitat satwa sebagai penyeimbang alam, pencemaran lingkungan yang berakibat memicu penyakit bagi manusia serta mengganggu ruang hidup bagi masyarakat,” jelas Tonicko Anggara.
Ia kemudian menyoroti pandangan bahwa izin tambang dianggap sebagai “jalan pintas” menuju kemajuan daerah. Tonicko menilai anggapan semacam ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk mengeksplorasi alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan.
“Bilamana alasan mulusnya izin tambang itu adalah mewujudkan Aceh Selatan maju. Maka, hemat saya pemangku kebijakan itu dapat dikategorikan sebagai sekelompok orang yang krisis inovasi dan kreativitas dalam mencari jalan untuk mewujudkan kemajuan bagi daerah,” tegasnya.
Tonicko menjelaskan bahwa Aceh Selatan sebenarnya kaya akan sektor potensial yang tidak memerlukan eksploitasi alam secara destruktif. Mulai dari pariwisata, kelautan dan perikanan, hingga pertanian dan UMKM—semuanya memiliki daya dukung besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, keberagaman potensi tersebut merupakan kelebihan yang seharusnya dimanfaatkan secara cerdas.
“Mengingat terdapat banyak sektor potensial yang tersedia di Aceh Selatan sehingga kita juga memiliki banyak opsi dalam memilih dan menentukan jalan menuju kemajuan bagi Aceh Selatan itu sendiri,” lanjutnya.
Tonicko menekankan bahwa pembangunan sejatinya tidak harus meminggirkan prinsip kelestarian. Menurutnya, memilih jalur pembangunan yang ramah lingkungan bukanlah penghalang bagi kemajuan, tetapi justru fondasi penting untuk memastikan keberlanjutan hidup generasi mendatang.
“Maka apa susah nya memilih jalan yang tidak merusak alam? Dengan memilih jalan seperti itulah kita dapat tetap lestari dalam uapaya mewujudkan kemajuan itu sendiri,” tegasnya.
Di penghujung pernyataannya, Tonicko memberikan pengingat bahwa kemajuan yang ditempuh melalui cara yang keliru hanya akan menghasilkan kerugian bagi masyarakat itu sendiri. Ia menyebut bahwa visi besar tidak hanya ditentukan oleh niat, tetapi juga oleh cara yang digunakan untuk mewujudkannya.
“Hanya dengan cara yang baiklah kebaikan akan lahir dan diraih. Dalam hal ini terkait kemajuan tentu ini adalah cita-cita baik nan mulia. Namun bila jalur yang ditempuh itu keliru atau dalam hal ini dapat merusak alam maka kemajuan seperti apa yang ingin kita raih?”
Dalam pandangan Tonicko, isu lingkungan adalah ujian integritas bagi siapa pun yang mengaku memperjuangkan masa depan Aceh Selatan. Ia menuntut agar pembangunan tidak berhenti pada slogan, tetapi juga mempertimbangkan risiko ekologis yang dapat menjerumuskan masyarakat pada bencana.
“Hemat saya, tidak ada nikmat kemajuan saat lingkungan kita sendiri rusak ataupun hancur dan tak ada yang lebih nikmat dibandingkan hidup dengan kecukupan pada situasi dan kondisi alam atau lingkungan yang terjaga dan bersahabat.” akhirnya. (XRQ)
Reporter: Akil






