NUKILAN.ID | FEATURE – Di sebuah desa di Aceh Besar, suara mesin diesel perlahan tergantikan oleh dengung lembut turbin listrik baru. Lampu-lampu di rumah warga kini menyala lebih stabil, warung kopi bisa buka hingga tengah malam, dan anak-anak tak lagi belajar di bawah cahaya pelita.
Bagi sebagian orang, itu mungkin pemandangan biasa. Tapi bagi warga di sana, sinar itu adalah simbol perubahan besar—tanda bahwa mimpi Indonesia menuju swasembada energi mulai nyata.
Swasembada energi bukan sekadar wacana politik, tapi gerakan nasional yang kini dihidupkan dari ujung hulu. PT PLN (Persero) bersama subholding-nya mulai memaksimalkan sumber daya energi primer domestik—dari panas bumi, air, surya, angin, hingga biomassa.
Dalam Siaran Pers PLN pada April 2025 lalu, Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menegaskan arah besar transformasi energi nasional:
“Batu lompatannya jelas, peta jalannya jelas, arahnya jelas, dan insya Allah dimudahkan agar ini bisa tercapai. Kami ingin Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan energi,” katanya.
PLN kini mendorong pengembangan hidrogen hijau sebagai solusi transisi dari energi fosil menuju energi bersih. Hidrogen ini diproduksi dari air menggunakan listrik berbasis energi terbarukan—bukan dari gas atau batu bara.
“Hidrogen merupakan solusi transisi energi masa depan. PLN siap menjadi pemimpin transisi energi global,” ujar Darmawan dalam pernyataannya.
Langkah ini sejalan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, yang dikenal sebagai “RUPTL hijau”. Dokumen tersebut menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 gigawatt, di mana lebih dari 60 persen berasal dari energi baru terbarukan (EBT) seperti surya, air, dan panas bumi.
“RUPTL hijau ini bukan hanya soal mengalirkan listrik, tapi tentang menyiapkan fondasi kedaulatan energi Indonesia,” tambah Darmawan dalam wawancara bersama Warta Ekonomi pada Oktober 2025.
Swasembada energi tak akan bermakna bila hasilnya tak terasa di hilir—di rumah warga, industri, sekolah, hingga fasilitas kesehatan. Di sinilah PLN menghadirkan makna “energi berkeadilan”.
Pada Oktober 2025, PLN mengumumkan pembangunan jaringan listrik baru di 1.285 desa terpencil di seluruh Indonesia. Proyek itu mencakup pembangunan jaringan tegangan menengah sepanjang 4.770 kilometer, jaringan tegangan rendah 3.265 kilometer, dan gardu distribusi berkapasitas 94.040 kVA. Dampaknya dirasakan langsung oleh lebih dari 77 ribu keluarga yang kini bisa menikmati listrik untuk pertama kalinya.
Salah satu di antaranya adalah Rosmini (43), pemilik usaha rumahan di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ia baru beberapa bulan menikmati listrik PLN yang masuk ke desanya.
“Dulu malam gelap, hanya pakai genset dua jam saja. Sekarang saya bisa menjahit hingga malam. Penghasilan pun meningkat,” katanya saat diwawancarai portal Ruang Energi.
Di sektor perkotaan, elektrifikasi juga mengubah gaya hidup masyarakat. Penggunaan kompor induksi dan kendaraan listrik kian meningkat, menjadi simbol hilirisasi energi yang berdampak langsung.
Menurut laporan Metrotvnews.com, pemerintah menargetkan ekosistem kendaraan listrik (KBLBB) nasional tumbuh pesat hingga 2030, seiring meningkatnya kapasitas listrik domestik dan pengurangan impor BBM.
Salah satu alasan utama Indonesia harus mandiri energi adalah ketergantungan pada impor bahan bakar fosil. Setiap fluktuasi harga minyak dunia dapat mengguncang stabilitas ekonomi nasional.
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada 7 Oktober 2025, Darmawan menegaskan bahwa swasembada energi akan tetap menjadi fokus utama meskipun ada tekanan global menuju transisi energi.
“Kita akan tetap pada jalur swasembada. Transisi energi bukan berarti kita menyerahkan kemandirian, tapi justru memperkuatnya,” ungkapnya.
Melalui anak perusahaannya, PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI), PLN juga memperkuat rantai pasokan domestik, termasuk biomassa untuk cofiring PLTU. Pada 2024, PLN EPI mencatat realisasi pasokan 1,6 juta ton biomassa dari hasil kerja sama dengan koperasi, UMKM, dan petani lokal.
Langkah ini tak hanya ramah lingkungan, tapi juga menumbuhkan ekonomi daerah.
“Biomassa membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat sekitar hutan dan pertanian. Ini bentuk nyata hilirisasi energi rakyat,” ujar Direktur Utama PLN EPI dalam pernyataannya di situs plnepi.co.id.
Meski langkah PLN kian terarah, jalan menuju kemandirian energi nasional masih penuh tantangan. Pembangunan infrastruktur EBT membutuhkan biaya besar dan koordinasi lintas sektor. Di sisi lain, masih ada kesenjangan antara potensi energi dan kemampuan penyerapan teknologi di daerah.
PLN sendiri kini tengah membangun Green Enabling Transmission Line sepanjang 70.000 kilometer untuk menyalurkan listrik EBT dari sumber ke pusat beban. Selain itu, PLN juga menjajaki Green Bonds dan skema pembiayaan hijau (blended finance) guna mendukung proyek-proyek transisi energi.
“Kami tidak ingin sekadar mengikuti tren global. PLN ingin menjadi pelaku utama dalam mendesain sistem energi yang tangguh, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat,” tegas Darmawan di Warta Ekonomi.
Namun, tantangan terbesar justru ada di tingkat sosial: mengubah perilaku konsumsi masyarakat agar lebih efisien dan sadar energi. Dari menghemat listrik di rumah hingga beralih ke kendaraan listrik—perubahan kecil itu menjadi bagian dari ekosistem besar menuju swasembada nasional.
Bagi PLN, kemandirian energi bukanlah sekadar proyek besar, melainkan perjalanan panjang yang menghubungkan manusia dengan masa depan. Dari hulu—di mana energi dihasilkan dari kekayaan alam negeri sendiri—hingga hilir—di mana energi itu menghidupkan ekonomi rakyat—swasembada berarti menyalakan kedaulatan bangsa.
Darmawan menutup pernyataannya dalam forum CEO Climate Talks 2025 dengan pesan yang menggugah:
“Swasembada energi adalah bentuk cinta pada negeri. Dengan sumber daya yang kita miliki, Indonesia tidak hanya bisa cukup energi untuk dirinya sendiri, tapi juga menyalurkan cahaya bagi dunia,” katanya.
Malam kian larut di desa pesisir itu. Dari kejauhan, terlihat sinar-sinar kecil yang memantul di jendela rumah warga. Bagi Rosmini dan ribuan warga lainnya, listrik bukan sekadar terang, melainkan simbol martabat—tanda bahwa Indonesia sedang berdiri lebih tegak di atas kakinya sendiri.
PLN, dengan seluruh tantangan dan terobosannya, kini bukan sekadar perusahaan listrik. Ia adalah penyalur harapan, jembatan kedaulatan, dan penanda bahwa energi bukan sekadar angka megawatt, tapi denyut kehidupan bangsa yang tak boleh padam. (XRQ)
Reporter: Akil






