NUKILAN.ID | FEATURE – Malam itu, Minggu (16/3/2025), suasana Masjid Raya Baiturrahman terasa lebih khidmat dari biasanya. Langit Banda Aceh diselimuti nuansa Ramadan yang damai, sementara ribuan jamaah larut dalam salat tarawih. Di antara lantunan ayat suci, terselip momen bersejarah: perwakilan Bank Indonesia menyerahkan Mushaf Baiturrahman duplikat kepada Gubernur Aceh, yang kemudian diserahkan secara simbolis kepada Imam Masjid Raya Baiturrahman.
Seremoni sederhana di malam 17 Ramadan 1446 H itu menjadi lebih dari sekadar prosesi. Ia adalah simbol kembalinya jejak sejarah yang sempat tercerabut akibat penjajahan. Sebuah warisan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, mempertemukan kembali Aceh dengan salah satu peninggalan Islam terbesarnya: Mushaf Baiturrahman, naskah Al-Qur’an bersejarah yang pernah dicuri Belanda pada abad ke-19.
Dari Medan Perang ke Negeri Jauh
Tampak di depan jamaah, mushaf berukuran besar itu memancarkan pesona tersendiri. Tak sekadar karena bentuknya yang megah, tetapi karena kisah panjang yang dikandungnya. Mushaf ini dahulu ditemukan dalam dekapan jasad Imam Masjid Raya Baiturrahman yang gugur saat mempertahankan masjid dari serangan tentara Belanda pada 27 Maret 1873 — hari pertama pecahnya Perang Aceh.
Sejarah mencatat, mushaf itu kemudian ditemukan oleh Kapten Infanteri J.H.A Ijssel de Achepper pada 27 April 1873, sebelum dikirim ke Prof. Michael Jan de Goeje di Belanda. Hingga kini, mushaf asli berukuran 31,2 x 20,3 sentimeter itu masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, menjadi saksi bisu dari kegigihan rakyat Aceh mempertahankan tanah airnya dan agamanya.
Namun, 152 tahun berselang, mushaf itu kembali “pulang” — bukan dalam bentuk aslinya, melainkan melalui duplikasi yang setia meniru detail sejarahnya.
Dikerjakan 30 Kaligrafer dari Seluruh Aceh
Sejak 6 Maret 2025, sebanyak 30 kaligrafer terbaik Aceh berkumpul di Banda Aceh. Mereka menyalin ulang mushaf tersebut, satu orang menuliskan satu juz, di atas kertas berukuran besar 59 x 84 sentimeter.
Kaligrafer bekerja siang dan malam, menyalin setiap ayat dengan ketelitian tinggi, seolah sedang menulis sejarah kembali. Karya monumental ini rampung tepat pada 16 Maret 2025, sehari sebelum diserahkan ke publik di Masjid Raya Baiturrahman.
“Mushaf yang disalin ini merupakan naskah Al Quran yang ditemukan dalam pelukan seorang imam masjid yang mati syahid saat mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman dari kolonial Belanda sekitar abad ke-18,” kata Koordinator Bidang Kaligrafi Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Aceh, di Banda Aceh, Rabu.
Ia menjelaskan bahwa proses penyalinan dilakukan berdasarkan versi digital Mushaf Baiturrahman asli, yang kini disimpan di University of Leiden, Belanda.
“Kami dapatkan bentuk digitalnya dari seorang dosen Filologi asal Aceh Bapak Hermansyah saat berkunjung ke sana. Beliau juga yang menginisiasi agar mushaf ini disalin kembali,” katanya.
Keunikan Mushaf Kuno yang Tak Dimiliki Mushaf Modern
Salah satu tokoh penting dalam proyek ini, Hermansyah, dosen filologi asal Aceh, menegaskan bahwa mushaf ini memiliki keunikan yang tak ditemukan pada mushaf Al-Qur’an umumnya.
“Mushaf ini memiliki simbol tajwid bahkan lengkap dengan makharijul huruf, serta keterangannya,” ujarnya.
Selain itu, struktur halaman mushaf ini tidak berurutan seperti mushaf pada umumnya.
“Kalau mushaf biasa satu juz sama jumlah halamannya hampir sepuluh lembar, tapi kalau mushaf ini acak jumlah halamannya,” tambahnya.
Ciri khas ini menunjukkan bahwa mushaf tersebut bukan hanya naskah keagamaan, tetapi juga karya seni dan pengetahuan yang tinggi, mencerminkan tradisi intelektual Islam di Aceh masa lampau.
Menghadirkan Kembali Warisan yang Hilang
Karena keunikan dan nilai sejarahnya, Pemerintah Aceh berinisiatif menggandakan mushaf tersebut agar masyarakat tak perlu jauh-jauh ke Belanda untuk melihatnya.
“Sehingga dicarilah 30 penulis seluruh Aceh untuk menyalin ulang mushaf ini, satu orang menuliskan satu juz,” kata Iqbal.
Proses penyalinan ini dilakukan di atas kertas A1 berukuran 59×84 cm dan dijadwalkan selesai sebelum malam 17 Ramadan 1446 H. Setelah selesai dijilid, mushaf duplikat itu langsung dipamerkan di Masjid Raya Baiturrahman.
“Nantinya akan dipamerkan di Masjid Raya Baiturrahman, dan di sana akan dibuatkan museum khusus untuk memamerkan hasil penyalinan Mushaf Baiturrahman ini,” ujarnya.
Warisan yang Hidup Kembali
Kini, Mushaf Baiturrahman duplikat berdiri megah di masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu. Ia bukan sekadar salinan dari naskah kuno, melainkan simbol keteguhan dan kecintaan Aceh terhadap warisan Islam.
Malam itu, di bawah kubah hitam Masjid Raya, ketika Gubernur Aceh menyerahkan mushaf kepada imam besar, gema takbir dan haru terasa berpadu. Sejarah yang dulu tercerabut kini kembali pulang.
Sebuah naskah yang pernah ikut berperang, kini kembali bercerita — bukan dengan darah, melainkan dengan tinta dan ketulusan tangan anak bangsa. (XRQ)
Reporter: Akil

                                    




