NUKILAN.ID | Banda Aceh – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Syiah Kuala (USK) menjadi tuan rumah penyelenggaraan UNESCO Youth as Researchers (YAR) 2025 Workshop, sebuah program internasional yang bertujuan memperkuat kapasitas riset generasi muda untuk menjawab tantangan sosial masa kini. Kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi antara UNESCO Jakarta Office, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Syiah Kuala (USK).
Workshop yang digelar pada Senin (13/10/2025) itu dihadiri oleh sejumlah tokoh akademik, di antaranya Prof. Dr. Mustanir, M.Sc., Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kewirausahaan USK; Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, S.S., M.Hum., Dekan Fakultas Filsafat UGM; serta Prof. Dr. Mahdi Syahbandir, S.H., M.Hum., Dekan FISIP USK. Turut hadir pula perwakilan UNESCO Jakarta Office, Meyda Nento, yang memberikan sambutan pembuka.
Dalam sambutannya, Prof. Mustanir menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam melahirkan mahasiswa yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga peka terhadap isu sosial di sekitarnya.
“Perguruan tinggi tidak hanya berperan sebagai pusat ilmu pengetahuan, tetapi juga wadah untuk menumbuhkan kepedulian sosial dan keberanian berinovasi,” ujar Prof. Mustanir.
Ia menambahkan, program Youth as Researchers menjadi ruang strategis bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis sekaligus menghasilkan penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat. “Melalui program Youth as Researchers ini, kami berharap mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menghasilkan penelitian yang berdampak bagi masyarakat,” lanjutnya.
Sementara itu, Prof. Siti Murtiningsih dari UGM menyoroti dimensi moral yang terkandung dalam setiap kegiatan riset. Menurutnya, penelitian tidak semata-mata soal data, tetapi juga tentang empati dan tanggung jawab sosial.
“Riset yang dilakukan oleh generasi muda seharusnya memuat kepedulian terhadap sesama. Melalui riset, mahasiswa belajar memahami realitas sosial, mendengarkan suara masyarakat, dan mencari solusi yang berkeadilan,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Program Youth as Researchers ini menanamkan nilai empati, refleksi, dan tanggung jawab moral di kalangan peneliti muda.”
Dari pihak UNESCO, Meyda Nento menyampaikan komitmen lembaganya dalam memperkuat peran pemuda sebagai agen perubahan.
“Pemuda bukan sekadar penerus bangsa, tetapi juga penggerak utama perubahan sosial,” ungkapnya. “Melalui program Youth as Researchers, UNESCO ingin membangun kepercayaan diri dan kapasitas riset anak muda agar mereka dapat menjadi mitra sejajar dalam proses pembangunan.”
Meyda menambahkan, YAR 2025 akan menjadi wadah bagi mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia untuk berkolaborasi, memetakan isu sosial, dan merancang proyek riset yang berdampak nyata di tingkat komunitas.
Dekan FISIP USK, Prof. Mahdi Syahbandir, menilai bahwa kegiatan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat jejaring akademik antara mahasiswa, dosen, dan lembaga internasional. Ia menyebut workshop tersebut sebagai langkah awal kolaborasi riset lintas universitas yang menempatkan pemuda sebagai motor penggerak perubahan sosial.
Selain sesi paparan dan diskusi, kegiatan ini juga menghadirkan pelatihan metodologi riset sosial yang difasilitasi oleh Rona Utami dan Rodinal Khair dari Fakultas Filsafat UGM.
Yang menarik, peserta workshop merupakan mahasiswa terpilih yang telah memenangkan kompetisi riset yang diselenggarakan oleh UNESCO. Tahun ini, lima kelompok riset dari Universitas Syiah Kuala berhasil mendapatkan pendanaan dari UNESCO untuk penelitian di bidang ketahanan komunitas, pemberdayaan perempuan, literasi digital, dan keberlanjutan lingkungan.
Keberhasilan tersebut menjadi bukti meningkatnya kapasitas riset mahasiswa USK di kancah internasional.
Program Youth as Researchers 2025 di FISIP USK bukan sekadar agenda akademik, melainkan juga tonggak dalam membangun tradisi riset berbasis partisipasi pemuda di Indonesia.
“Workshop ini adalah awal dari gerakan yang lebih besar—gerakan riset yang berpihak pada kemanusiaan,” tutup Prof. Mustanir.