Konsolidasi Orang Muda Menyikapi Situasi Demokrasi di Aceh

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh berkolaborasi dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Ar-Raniry menggelar kegiatan bertajuk Konsolidasi Orang Muda dalam Menyikapi Situasi Demokrasi Indonesia, khususnya di Aceh.

Kegiatan yang berlangsung di Museum Teater UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini diikuti sekitar 70 peserta yang berasal dari 25 komunitas dan organisasi kampus. Acara dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan III FISIP UIN Ar-Raniry.

Ketua DEMA FISIP UIN Ar-Raniry, Al Qadri Naufal, menilai bahwa demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan serius.

“Demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan serius, dari dominasi oligarki politik, politik uang, hingga menurunnya partisipasi kritis generasi muda. Di Aceh, dinamika ini semakin kompleks dengan persoalan otonomi khusus yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan rakyat. Ketimpangan sosial, kemiskinan, dan lemahnya transparansi menjadi realitas yang perlu dikritisi bersama,” katanya.

Ia menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan dan intelektual muda untuk mengembalikan makna sejati demokrasi.

“Mahasiswa, sebagai agen perubahan dan intelektual muda, punya peran penting untuk mengembalikan makna sejati demokrasi: berpihak pada rakyat. Saat kampus kehilangan suara kritisnya, bangsa pun kehilangan masa depannya. Karena itu, sudah saatnya orang muda Aceh bangkit — berpikir tajam, bertindak berani, dan bersatu dalam perjuangan untuk demokrasi yang adil serta pendidikan yang memerdekakan,” tambahnya.

Dari perspektif gender, Istiqamah dari Forum Perempuan Aceh menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen daerah.

“Fakta bahwa dari 81 kursi DPRA Aceh, hanya 7 diduduki perempuan itu 8,6 persen, jauh di bawah target nasional 30 persen. Ini krisis representasi akut. Bagaimana kita bicara demokrasi kalau 91 persen kursi dikuasai satu gender? Ini paradoks menyakitkan, kita hormati Cut Nyak Dhien sebagai pahlawan, tapi abaikan suara perempuan di parlemen hari ini,” ungkapnya.

Menurutnya, ketimpangan ini terjadi karena hambatan struktural, kultural, dan personal. Meski begitu, ia percaya generasi muda memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan.
“Perempuan muda menghadapi tantangan berlapis dianggap terlalu muda dan terlalu perempuan untuk memimpin. Tapi generasi muda punya kekuatan digital native, kreatif, dan terbuka pada kesetaraan. Saya ajak perempuan muda berani ambil ruang, laki-laki muda jadi sekutu, dan semua bergabung dalam gerakan ini. Perubahan dimulai dari kita, hari ini, dari Aceh,” tegasnya.

Sementara itu, Kausar Muharya dari Koalisi Anak Muda Demokrasi Resilience menambahkan pentingnya peran generasi muda dalam memperkuat fondasi demokrasi bangsa.

“Demokrasi seharusnya kritis dan dibangun dari anak muda, karena anak muda jadi garda terdepan apakah demokrasi bangsa akan membaik atau memburuk. Peningkatan ‘kapasitas’ anak muda sejalan dengan peningkatan ‘kualitas’ demokrasi bangsa, dan ruang-ruang seperti ini harus diambil oleh orang muda hari ini,” ujarnya.

Sementara itu, Tim Program GeRAK Aceh, Destika Gilang Lestari, kepada Nukilan.id menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya kolaborasi GeRAK Aceh bersama komunitas muda dalam memperkuat kesadaran demokrasi di kalangan generasi muda.

“Bahwa ini bagian dari upaya kolaborasi dari GeRAK Aceh bersama para komunitas muda, hal ini kita lakukan sebagai bentuk konsolidasi orang muda, dimana semua bebas menyampaikan pendapat melihat situasi demokrasi kita hari ini. Jadi yang di depan hanya pemantik diskusi dan semua yang hadir adalah narasumber,” ujarnya.

Pada akhir sesi, seluruh peserta berdiskusi dan merumuskan sejumlah langkah bersama yang akan dijalankan sebagai bentuk komitmen orang muda dalam mengawal serta menjaga keutuhan demokrasi di Indonesia, khususnya di Aceh. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News