NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Tambang emas ilegal masih menjadi persoalan utama di Aceh. Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Aceh menunjukkan aktivitas penambangan tanpa izin tersebar di Aceh Jaya, Aceh Selatan, Pidie, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Tengah. Penambangan tersebut umumnya menggunakan air raksa atau merkuri yang berpotensi merusak lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat, luas tambang emas ilegal di provinsi itu terus meningkat. Pada 2023, luasnya mencapai 6.805 hektar, naik menjadi 8.107 hektar pada 2024. Tambang terbesar berada di Aceh Barat seluas 4.223 hektar, disusul Nagan Raya (2.505 hektar), Pidie (800 hektar), Aceh Jaya (443 hektar), Aceh Tengah (97 hektar), Aceh Selatan (31 hektar), dan Aceh Besar (5 hektar).
“Kerusakan yang ditimbulkan di hutan lindung sekitar 3.700 hektar, di hutan produksi (1.312 hektar), dan di Kawasan Ekosistem Leuser (1.882 hektar),” jelas Ahmad Shalihin, Direktur Walhi Aceh, Selasa (30/9/2025).
Ia menambahkan, aktivitas tambang biasanya meningkat menjelang pesta politik. Pada Januari 2024, pembukaan tambang baru mencapai 309 hektar. Angka itu naik menjelang pemilihan kepala daerah, yakni 224 hektar pada Agustus, 105 hektar pada September, dan 198 hektar pada Oktober.
“Pola seperti ini harus dicermati kedepannya,” ujarnya.
Sementara itu, laporan Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batubara serta Minyak dan Gas DPR Aceh tahun 2025 menyebutkan kondisi alam dan lingkungan di Aceh hancur akibat kegiatan pertambangan ilegal.
“Kegiatan itu dilakukan dengan cara membabi buta oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab,” kata Nurdiansyah Alasta, Juru Bicara Pansus DPR Aceh, dikutip dari kanal Youtube DPR Aceh, Kamis (25/9/2025).
Pansus menemukan, tambang emas ilegal terjadi di 450 titik dengan jumlah alat berat atau ekskavator mencapai 1.000 unit. Setiap alat berat disebut wajib menyetor Rp30 juta per bulan untuk biaya keamanan yang diberikan kepada oknum di wilayah masing-masing.
“Setoran sudah berlangsung lama dan dibiarkan tanpa upaya memberantasnya,” ungkap Nurdiansyah.
Ia juga menegaskan bahwa tambang emas ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat.
“Kami mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengambil langkah tegas dengan menutup seluruh lokasi,” tambahnya.
Ahmad Shalihin menyebut, temuan pansus bukan hal baru. Menurutnya, praktik tambang tanpa izin sudah berlangsung puluhan tahun.
“Karena sudah disampaikan terbuka, kami berharap dapat dituntaskan hingga ke penerima biaya keamanan,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya pengungkapan pihak penerima setoran karena selama ini penegakan hukum hanya menjerat pekerja lapangan, bukan aktor utama.
“Tambang ilegal tidak mungkin masif tanpa pemodal besar, pihak yang melindungi, peralatan berat, dan jaringan distribusi,” tegasnya.
Menurutnya, kerugian negara akibat tambang ilegal tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga mencakup kerusakan lingkungan.
“Rusaknya hutan, tercemarnya sungai oleh merkuri dan sianida, serta hilangnya sumber air bersih masyarakat merupakan kerugian yang harus diperhitungkan,” paparnya.
Menanggapi kondisi tersebut, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyatakan pemerintah akan menata kembali sektor pertambangan. Ia memberi waktu dua minggu bagi pelaku tambang ilegal untuk menghentikan aktivitas dan mengeluarkan alat berat dari lokasi.
“Tambang emas ilegal dengan alat berat atau beko, segera dikeluarkan dari hutan terhitung sekarang,” ujarnya seusai rapat paripurna DPR Aceh, Kamis (25/9/2025).
Muzakir menyebut, akibat aktivitas tambang ilegal, Aceh mengalami kerugian hingga dua triliun rupiah setiap tahun.
“Penataan ulang perizinan akan dilakukan sesuai perundang-undangan,” tegasnya.