NUKILAN.ID | INDEPTH – Reshuffle kabinet Presiden Prabowo Subianto bukan sekadar pergantian nama di meja pemerintahan. Lebih dari itu, peristiwa ini menjadi cermin tarik-menarik kepentingan, tekanan publik, sekaligus pertaruhan politik yang masih jauh dari kata usai.
Suasana Istana Negara pada Senin, 8 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB, mendadak berubah riuh. Satu per satu mobil hitam berderet memasuki gerbang utama, menurunkan tamu dengan jas gelap dan wajah serius. Tidak ada undangan resmi yang beredar. Hanya panggilan singkat dari ajudan Presiden Prabowo Subianto yang tiba-tiba memerintahkan mereka hadir.
Dari pertemuan itu, keputusan penting lahir. Lima menteri resmi dicopot, dua di antaranya terseret kasus hukum. Namun langkah tersebut ternyata belum meredam suara publik. Pertanyaan pun terus bergulir, siapa lagi yang akan tersapu dalam reshuffle berikutnya?
Perombakan Kabinet Merah Putih dilakukan sepekan setelah gelombang demonstrasi menuntut pembubaran DPR berakhir ricuh. Publik menilai langkah Prabowo tepat, tetapi masih setengah hati. Nama-nama kontroversial seperti Raja Juli Antoni, Natalius Pigai, Bahlil Lahadalia, Airlangga Hartarto, hingga Tito Karnavian tetap bertahan di antara sekitar 50 menteri yang dilapis 1-3 wakil menteri.
Pencopotan menteri dapat dibaca hanya sebagai upaya Presiden mengganti pemain bermasalah. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi sudah lama jadi beban sejak perkara beking judi online menyeruak.
Foto Menteri Pekerja Migran Abdul Kadir Karding bermain domino bersama tersangka pembalakan liar dengan Raja Juli sempat memicu kegaduhan publik. Karding akhirnya dicopot, sementara Raja Juli tetap aman.
Hal serupa terjadi pada Dito Ariotedjo. Namanya berulang kali dikaitkan dengan kasus korupsi BTS 4G, bahkan dengan perkara yang menjerat mertuanya, Fuad Hasan Masyhur. Pemilik agen travel haji dan umrah itu tersandung korupsi kuota haji, indikasinya ikut menyeret Dito keluar dari kabinet. Namun, pertanyaan publik masih menggantung: mengapa hanya sebagian yang tersingkir?
Publik Jenuh dengan Drama
Peneliti Senior BRIN, Lili Romli, dilansir dari Inilah.com menyebut hak prerogatif Presiden tak bisa diganggu gugat, tetapi tuntutan publik harus menjadi barometer.
“Publik kecewa bila para pembantu presiden tidak mencerminkan sosok pejabat publik yang memberi teladan. Hampir setahun berjalan, ada menteri yang kinerjanya tidak terlihat, malah menimbulkan kegaduhan dan tidak punya sense of crisis,” kata Lili.
Ia menegaskan reshuffle jilid II belum cukup meredakan kekecewaan publik. “Tampaknya publik belum puas karena ada beberapa menteri lain yang mestinya juga diganti. Publik berharap reshuffle masih akan berlanjut,” ujarnya.
Menurut Lili, indikator menteri layak dicopot jelas: kinerjanya buruk, terlibat KKN, minim integritas, serta gagal menjaga loyalitas kepada Presiden.
Dilansir dari sumber yang sama, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Pareira, menegaskan reshuffle sepenuhnya kewenangan Presiden.
“Kalau soal pergantian, silakan tanyakan ke Presiden. Itu hak prerogatif beliau,” kata Andreas.
Publik sempat menyoroti kinerja Menteri HAM Natalius Pigai, tetapi Andreas enggan mengomentari lebih jauh.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menilai Mendagri Tito Karnavian masih layak dipertahankan.
“Mengurus 552 kepala daerah bukan pekerjaan ringan. Sejauh ini kinerjanya cukup baik,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan tidak semua menteri dalam sorotan publik memiliki catatan buruk, namun isu reshuffle lanjutan terus menghantui.
Rapor Survei: Menteri Bernilai Merah
Sejumlah survei memperlihatkan keresahan publik. IPO (Indonesia Political Opinion) dalam risetnya mencatat beberapa menteri mendapat “nilai merah” dan dinilai layak diganti oleh publik, termasuk Natalius Pigai. Kritik terhadap Pigai bukan hanya soal politik, melainkan terkait minimnya pencapaian di bidang HAM yang strategis.
Nama Menteri Raja Juli Antoni juga masuk radar reshuffle. Kinerja Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia—yang dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep—dicap memble. Orang-orang dekat Prabowo menyoroti keterlibatan sejumlah kader PSI dalam struktur pengurus Forest and Other Land Use atau FOLU Net Sink yang bergaji puluhan juta rupiah.
Dalam rapor 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran yang dirilis Indikator Politik, publik menilai sejumlah program berjalan lamban dan banyak janji belum terpenuhi. Evaluasi itu semakin mempertegas sorotan terhadap para menteri yang dianggap tidak bergerak.
Kursi Kosong: Menko Polkam dan Menpora
Reshuffle jilid II menyisakan dua kursi kosong yang memicu spekulasi. Posisi pertama adalah Menko Polkam. Setelah Budi Gunawan dicopot, jabatan strategis ini sementara diisi ad interim oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Hingga kini, pemerintah belum menunjuk pengganti definitif.
Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menilai pemerintah membutuhkan sosok Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) yang kuat serta dapat diterima masyarakat.
“Indonesia membutuhkan Menko Polkam yang bukan hanya kuat di belakang layar, tapi juga mampu tampil ke depan sebagai wajah pemerintah dan menenangkan publik,” ujar Fahmi, dikutip dari AntaraNews.
Ia menjelaskan, yang dimaksud dengan sosok kuat adalah figur yang memiliki posisi politik kokoh sehingga mampu menciptakan suasana kondusif, baik di dalam kabinet, parlemen, maupun masyarakat.
Selain itu, Menko Polkam yang terpilih juga harus bisa diterima khalayak luas agar masyarakat merasa tenang dan aman di bawah perlindungannya.
Menurut Fahmi, Menko Polkam merupakan jabatan sipil yang sangat strategis karena berperan penting dalam menjaga stabilitas keamanan negara.
Kursi kosong kedua terdapat di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dito Ariotedjo dicopot, namun penggantinya belum dilantik. Pemerintah beralasan calon pengganti masih berada di luar kota. Situasi ini semakin membuka ruang bagi munculnya berbagai rumor.
Dilansir dari jatimtimes.com, sejumlah nama yang mencuat di ruang publik antara lain Raffi Ahmad, Puteri Anetta Komarudin, Taufik Hidayat, hingga Moreno Soeprapto. Spekulasi tersebut menegaskan bahwa kursi Menpora dipandang penting, bukan hanya sebagai representasi pemuda dan olahraga, tetapi juga simbol kedekatan pemerintah dengan generasi muda.
Kekosongan dua jabatan vital ini memperlihatkan bahwa reshuffle belum sepenuhnya rampung. Bagi oposisi maupun pengamat, kondisi tersebut dapat dibaca sebagai strategi politik Prabowo, yakni menahan figur definitif hingga momentum politik berikutnya, atau mencari sosok kompromi yang bisa diterima koalisi.
Pertaruhan Arah Kepemimpinan
Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta, Adi Prayitno, menilai Prabowo memilih strategi bertahap.
“Setelah ini masih terbuka peluang reshuffle selanjutnya, meski entah kapan. Prabowo butuh menjaga stabilitas politik, karena alat rekat koalisi adalah power sharing,” katanya.
Sementara itu, Wasisto Raharjo Jati, peneliti BRIN, menambahkan reshuffle tidak bisa dilepaskan dari tekanan ekonomi dan stabilitas.
“Reshuffle ini adalah respons eksekutif terhadap tuntutan publik. Tapi risiko besar jika Presiden meninggalkan partai koalisi pendukungnya,” ujarnya.
Tekanan tersebut semakin nyata usai demonstrasi besar pada 25 Agustus–1 September 2025 yang dipicu kenaikan tunjangan DPR dan menewaskan seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, akibat insiden dengan kendaraan Brimob. Peristiwa ini menjadi katalis reshuffle, menandai keterhubungan antara krisis sosial dan keputusan politik di Istana.
Menakar Langkah Lanjutan Presiden
Reshuffle kabinet jilid II membuka ruang spekulasi yang semakin lebar. Presiden Prabowo telah menunjukkan ketegasan politiknya, namun kini publik menilai keberanian itu sedang diuji. Pertanyaan yang menggantung di udara: apakah ia berani mencopot menteri-menteri yang dianggap gagal, atau justru memilih mempertahankan mereka demi menjaga keseimbangan koalisi.
Suara publik terus bergema. Berbagai survei memperlihatkan harapan agar reshuffle tidak berhenti pada pergantian kosmetik, melainkan menyentuh persoalan mendasar. Standar moral dan etika pejabat publik kini ditetapkan semakin tinggi. Masyarakat tidak lagi hanya menilai kinerja teknis seorang menteri, tetapi juga integritas, kepekaan sosial, hingga etika personal yang melekat pada diri pejabat negara.
Dalam obrolan sehari-hari, di warung kopi maupun ruang diskusi kampus, topik reshuffle selalu menjadi bahan perbincangan hangat. Publik menunggu, sementara waktu kian menyempit.
Bagi rakyat, reshuffle bukan sekadar bongkar pasang kursi di kabinet. Ia adalah penanda arah kepemimpinan: apakah benar-benar berpihak pada rakyat, atau hanya menjadi jalan untuk menjaga keseimbangan politik di lingkaran elite. (XRQ)
Reporter: Akil