Bentrok Berdarah di Ibu Kota: Intelijen Gaptek atau Pembiaran Aparat?

Share

NUKILAN.ID | INDEPTH – Kerusuhan yang meletup dalam aksi demonstrasi pada 28 Agustus 2025 menjadi cermin rapuhnya kemampuan intelijen dalam membaca tanda-tanda awal gejolak. Ketidakmampuan mendeteksi eskalasi sejak dini membuat bentrokan antara aparat dan massa tak terhindarkan. Jakarta, sore itu, seolah berubah menjadi arena amarah terbuka. Jalan-jalan dipenuhi kobaran api, sementara sejumlah fasilitas umum hangus dilalap pembakaran.

Situasi kian memburuk ketika massa yang marah menyerang markas kepolisian, terutama satuan Brimob. Amarah itu tidak lahir begitu saja. Ia dipicu sebuah peristiwa tragis di kawasan rumah susun Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat.

Di sana, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meregang nyawa. Tubuhnya terhimpit roda besi kendaraan taktis (rantis) yang tengah melaju. Kabar kematiannya cepat menyebar dari mulut ke mulut, dari unggahan ke unggahan. Dalam sekejap, Affan bukan lagi sekadar warga biasa yang mencari nafkah di jalanan ibu kota. Ia menjelma simbol kemarahan massa, menjadi wajah luka kolektif yang memantik gelombang protes lebih besar.

Kematian Affan menjadi titik balik yang menyulut kemarahan. Gelombang aksi protes pun meluas, berujung pada kerusuhan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum di berbagai wilayah pada hari berikutnya.

Namun, kepolisian tampak tidak mengambil pelajaran dari kejadian sebelumnya. Pada Senin (25/8/2025), demonstrasi di depan Gedung DPR juga berakhir ricuh setelah aparat membubarkan paksa massa karena melewati batas waktu yang ditentukan.

Bentrok kemudian kembali terjadi. Di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, massa—yang mayoritas pelajar—melempari aparat dengan batu hingga menyalakan kembang api. Aparat yang kalah jumlah terpaksa mundur, sebelum kembali menghadang kelompok anarkis.

Situasi makin panas ketika massa bertambah banyak setelah polisi mengepung mereka dari Pejompongan menuju Benhil, Jakarta Pusat, seperti yang diberitakan oleh Kompas.com. Aparat akhirnya menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Alih-alih mereda, tindakan ini justru memicu kerusuhan lebih besar. Sejumlah fasilitas rusak, bahkan kendaraan pribadi yang melintas ikut jadi sasaran.

Dalam kondisi demikian, intelijen seharusnya memegang peran penting untuk mencegah eskalasi. Namun kenyataannya, aksi protes justru meluas dan berubah menjadi anarkis. Akibatnya, tujuh orang tewas, termasuk Affan Kurniawan. Selain itu, hasil penelusuran digital oleh Nukilan.id tercatat setidaknya ada 37 gedung DPRD di berbagai wilayah terbakar, disertai perusakan sejumlah fasilitas umum.

Intelijen Telat Antisipasi Penggalangan Massa di Medsos

Pengamat militer Ade Muhammad menilai pecahnya kerusuhan buntut aksi demonstrasi bukanlah bentuk kegagalan intelijen. Menurutnya, agen-agen intelijen negara telah bekerja secara optimal dalam mengantisipasi agar kericuhan tidak meluas.

Namun, ia mengakui adanya sejumlah faktor “x” di lapangan yang luput dari pengamatan. Salah satunya adalah penggalangan massa secara masif melalui media sosial (medsos).

“Eskalasi memang mendadak liar dan momentumnya terpelihara karena ada faktor eksternal seperti dugaan provokasi di medsos, sebagaimana ditindaklanjuti Polri melalui penahanan beberapa aktor medsos,” kata Ade dikutip dari inilah.com.

Ia menambahkan, intelijen negara terlambat merespons penggalangan di medsos sehingga gelombang massa semakin membesar pada hari berikutnya.

Masih dari sumber yang sama, Dosen Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta, menilai intelijen negara sebenarnya sudah memprediksi potensi terjadinya unjuk rasa lanjutan. Namun, keterbatasan kewenangan membuat mereka tidak dapat melakukan penindakan.

“Saya yakin intelijen sudah memberikan informasi terkait rencana unjuk rasa ini kepada usernya masing-masing,” ujarnya.

Stanislaus mengakui, situasi di lapangan berkembang begitu cepat sehingga laporan intelijen yang diteruskan ke user kemungkinan terlambat dieksekusi.

Selain itu, menurutnya, agen-agen intelijen juga tidak menduga bahwa provokasi akan terjadi secara masif di medsos. Kondisi inilah yang membuat situasi lapangan cepat berubah dan aparat penegak hukum terlambat melakukan antisipasi.

“Saya melihat memang ada keterlambatan penanganan, terutama terkait isu yang menjadi pemicu unjuk rasa. Seandainya isu tersebut ditangani sejak dini, unjuk rasa bisa diredam,” katanya.

Ia menambahkan, dinamika aksi di lapangan yang berubah dengan cepat juga mengganggu koordinasi antara agen intelijen dan aparat.

Hal ini terlihat dari adanya penangkapan sejumlah intel dari berbagai lembaga, seperti Bais dan Polri, oleh petugas di lapangan. Namun, ia meyakini, intel yang ditangkap bukanlah provokator sebagaimana ditudingkan sejumlah pihak.

Menurut Stanislaus, jika intel tertangkap saat berada di barisan massa, itu bukan untuk memprovokasi melainkan demi mengumpulkan informasi mengenai rencana-rencana aksi berikutnya.

“Semua intel, sekalipun menyusup di kelompok lawan, tujuannya tetap untuk kepentingan negara, bukan membantu kelompok tersebut,” tegasnya.

Ada Pihak yang Bermain dalam Aksi Demo

Seperti disampaikan sejumlah narasumber dalam berbagai talkshow di televisi, masih banyak fakta yang menunjukkan bahwa agen intelijen negara hingga kini belum mahir, bahkan terkesan “gagap teknologi” dalam memanfaatkan perkembangan digital, terutama media sosial. Kondisi ini membuat mereka sering terlambat mengantisipasi berbagai gerakan yang muncul di platform tersebut.

Kerusuhan yang meletus dalam aksi demonstrasi pada 28 Agustus 2025 menjadi cermin rapuhnya peran intelijen negara dalam membaca situasi. Alih-alih mampu melakukan deteksi dini, bentrokan justru tak terelakkan. Aparat dan massa saling berhadapan, hingga api membakar sejumlah fasilitas umum di tengah kota.

Gelombang amarah itu tidak lahir tiba-tiba. Ia disulut oleh penggalangan isu di media sosial yang berkembang tanpa kendali. Sejumlah pihak dengan sengaja meramu narasi provokatif—mulai dari sorotan pada gaya hidup mewah anggota DPR, hingga kritik tajam terhadap kinerja Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit—untuk memancing bara kemarahan publik.

Di dunia maya, isu-isu itu berkelindan, lalu menjelma menjadi ajakan turun ke jalan. Temuan kepolisian bahkan mempertegas bahwa kericuhan bukan digerakkan sepenuhnya oleh warga ibu kota. Mayoritas pelaku anarkis justru datang dari luar Jakarta, terutama dari Jawa Barat.

“Perlu kami sampaikan bahwa untuk saat ini Polda Metro Jaya dari mulai awal kejadian sampai saat ini sudah menangkap sekitar 1.240 ya yang mana mereka berasal dari wilayah luar Jakarta, ada yang dari Jawa Barat ada yang dari Jawa dari Banten,” ungkap Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri di Balai Kota Jakarta, Senin (1/9/2025), dikutip dari detik.com.

Kericuhan itu meninggalkan jejak luka: jalanan penuh sisa asap, wajah publik diselimuti amarah, dan negara kembali dipertanyakan kemampuannya menjaga kewaspadaan. Sebab dalam pusaran demonstrasi yang sengit itu, yang kalah bukan hanya fasilitas umum—melainkan juga kepercayaan rakyat pada mereka yang seharusnya lebih dulu membaca tanda-tanda. (XRQ)

Penulis: Akil

spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News