NUKILAN.ID | INDEPTH – Sore itu, Jumat 15 Agustus 2025, suasana di Anjong Mon Mata, Kompleks Meuligoe Gubernur Aceh terasa berbeda. Matahari senja yang perlahan tenggelam seakan menjadi saksi berakhirnya penantian panjang jabatan Sekretaris Daerah Aceh. Hampir dua tahun kursi penting itu hanya ditempati oleh pejabat pelaksana tugas (Plt) maupun pelaksana harian (Plh). Kini, jabatan Sekretaris Daerah Aceh akhirnya resmi memiliki tuan.
Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem resmi melantik M Nasir sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) definitif. Prosesi tersebut menutup babak panjang ketidakpastian birokrasi yang berlangsung lebih dari setahun.
“Alhamdulillah, hari ini kita dapat berhadir pada pelantikan Sekretaris Daerah Aceh. Atas nama Pemerintah Aceh, saya mengucapkan selamat kepada Saudara M Nasir atas amanah ini,” ujar Gubernur sebagaimana diberitakan oleh Media Humas Pemerintah Aceh.
Perjalanan menuju pelantikan ini tidak berjalan mulus. Sejak akhir 2023 hingga pertengahan 2025, kursi sekda beberapa kali berganti penghuni sementara. Mulai dari pelaksana harian (Plh), penjabat (Pj), hingga pelaksana tugas (Plt). Situasi itu diwarnai tarik-menarik politik, rangkap jabatan, hingga sengketa hukum yang menjadikan posisi sekda sebagai salah satu kursi paling panas di birokrasi Aceh.
Kekosongan yang Menjadi “Normal Baru”
Kisah kekosongan dimulai saat Bustami Hamzah, Sekda definitif terakhir, diangkat menjadi Penjabat Gubernur Aceh pada 13 Maret 2024. Bustami sebelumnya baru enam bulan menjabat sebagai sekda menggantikan Taqwallah (8 September 2022). Loncatannya ke kursi gubernur praktis membuat jabatan sekda kosong.
Untuk menutup kekosongan jabatan, Asisten I Sekda Aceh, Azwardi, ditunjuk sebagai Pelaksana Harian (Plh) sebelum akhirnya dilantik menjadi Penjabat (Pj) Sekda pada 25 Maret 2024. Penunjukan ini dilakukan setelah namanya diusulkan oleh Bustami sebagai sekretaris daerah pada 18 Maret 2024 dan mendapat restu dari Menteri Dalam Negeri, sebagaimana diberitakan AJNN. Azwardi bertahan hampir tujuh bulan hingga akhirnya diganti.
Perubahan kembali terjadi setelah Safrizal ZA menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh. Pada 14 Oktober 2024, sebagaimana diberitakan infoaceh.net, giliran Muhammad Diwarsyah, Kepala Sekretariat Lembaga Wali Nanggroe Aceh, yang ditunjuk Safrizal ZA sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekda. Uniknya, Diwarsyah merangkap jabatan.
Pada Februari 2025, ia juga dilantik menjadi Asisten Administrasi Umum Setda Aceh. Dua posisi strategis ini dipegang secara bersamaan, sebuah praktik yang menuai kritik karena dianggap melemahkan efektivitas birokrasi.
Pusaran Politik Pasca Pilkada
Pilkada 2024 membuka babak baru dalam drama perebutan kursi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh. Pada 19 Februari 2025, Muzakir Manaf resmi dilantik sebagai Gubernur Aceh. Tidak lama setelah itu, ia menunjuk Alhudri, mantan Staf Ahli Gubernur, sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekda menggantikan Diwarsyah.
Namun, hanya sehari berselang, badai politik mulai berembus kencang.
Sebagaimana diberitakan popularitas.com, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Zulfadhli atau yang akrab disapa Abang Samalanga, mengeluarkan pernyataan keras. Ia menilai pengangkatan Alhudri tidak sah secara hukum.
“SK Alhudri cacat secara prosedural,” tegas politisi Partai Aceh itu di Banda Aceh, Kamis (20/2/2025).
Menurut Zulfadhli, proses penerbitan SK tersebut tidak mengikuti mekanisme yang berlaku. Ia menyebutkan tidak adanya telaah staf dari pejabat berwenang, termasuk tidak ada paraf dari Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA).
“Ini pelanggaran serius, tidak bisa dibiarkan,” tambahnya dengan nada prihatin.
Kritik keras ini memicu ketegangan antara eksekutif dan legislatif. Hanya sebulan kemudian, pada 17 Maret 2025, Gubernur Mualem mencabut SK Alhudri dan menunjuk M Nasir Syamaun, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Aceh, sebagai Plt Sekda. Acara pelantikan tersebut disaksikan langsung oleh Ketua DPRA Zulfadhli dan sejumlah pejabat lain, seperti dikutip dari waspadaaceh.com.
Penunjukan rangkap jabatan kembali dipilih sebagai solusi sementara.
Situasi ini menunjukkan bahwa jabatan Sekda tidak semata urusan administrasi. Di baliknya terdapat tarik-menarik politik, kompromi kepentingan, hingga pertarungan pengaruh pasca pilkada. Kursi Sekda yang strategis dianggap krusial untuk mengamankan jalannya pemerintahan.
Beban Berat Birokrasi
Selama lebih dari setahun, publik Aceh menyaksikan roda pemerintahan berjalan tanpa sekda definitif. Posisi ini hanya diisi oleh pejabat sementara yang berganti-ganti, bahkan sebagian merangkap jabatan lain.
Dikutip dari artikel HukumOnline.com, praktik seperti ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, fokus pejabat menjadi terpecah. Mengurus dua posisi strategis sekaligus membuat konsentrasi terbagi sehingga kinerja tidak maksimal.
Kedua, marwah jabatan sekda melemah. Posisi yang seharusnya menjadi motor koordinasi pembangunan seakan diperlakukan hanya sebagai kursi transisi. Ketiga, pelayanan publik ikut terganggu. Realisasi APBA melambat, koordinasi lintas SKPA tersendat, dan reformasi birokrasi terabaikan karena hiruk pikuk politik.
Masih dari artikel yang sama, secara hukum memang diperbolehkan menunjuk pelaksana tugas dari kalangan kepala SKPA. Namun jika kondisi ini berlangsung berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun, hal tersebut dinilai tidak sehat. Situasi ini mencerminkan lemahnya komitmen politik untuk menempatkan sekda sebagai profesional birokrasi, bukan sekadar alat kompromi.
Titik Akhir Penantian: Pelantikan M Nasir
Setelah melewati drama panjang, titik terang akhirnya tiba. Pada 15 Agustus 2025, M Nasir resmi dilantik sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh definitif oleh Gubernur Aceh, Mualem. Pelantikan berlangsung di Anjong Mon Mata dan menjadi penanda berakhirnya penantian yang penuh gejolak.
Dalam sambutannya, Mualem menyampaikan harapan besar kepada M Nasir. Dengan pengalaman panjang di birokrasi, ia diharapkan mampu menjalankan tugas dengan penuh integritas serta menjadi penggerak utama birokrasi yang efektif dan berorientasi pada pelayanan publik.
“Saya yakin dan percaya saudara mampu mengemban amanah ini dengan baik. Saya sudah mengenal beliau sudah sangat lama. Sejak kami sama-sama di KONI. Dan Alhamdulillah, dengan kerja keras bersama, kami sukses memperbaiki prestasi Aceh di PON setiap kali digelar,” ujar Mualem.
Meski penuh optimisme, Mualem juga memberikan sejumlah pesan penting. Ia menitipkan agenda strategis seperti percepatan realisasi APBA, penetapan RPJMA 2025–2029, penyusunan RKPA 2026, serta pengawalan revisi UUPA. Selain itu, reformasi birokrasi yang sederhana, cepat, transparan, dan bebas hambatan juga menjadi perhatian utama.
Tantangan ke Depan
Pelantikan M Nasir menutup babak panjang kekosongan, tapi membuka lembaran baru tantangan. Pertama, ia harus segera memulihkan ritme birokrasi yang sempat gamang akibat kepemimpinan berganti-ganti. Kedua, ia harus memastikan roda pembangunan berjalan konsisten, terutama di tengah persiapan RPJMA dan APBA Perubahan.
Ketiga, ia perlu menjaga keseimbangan politik. Sebagai sekda, ia berada di garis tengah antara kepentingan gubernur, legislatif, dan birokrasi. Keberhasilan mengawal harmonisasi ini akan menentukan stabilitas pemerintahan Aceh.
Refleksi: Kursi yang Kerap Jadi Taruhan Politik
Drama perebutan kursi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh akhirnya sampai di ujung cerita. Perjalanan panjang yang penuh tarik-ulur ini menyisakan banyak pelajaran penting bagi publik.
Pertama, jabatan strategis seperti sekda terlalu sering terseret dalam pusaran politik. Kedua, birokrasi Aceh sejatinya membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan stabil, bukan pejabat singgah sementara. Ketiga, masyarakat membutuhkan kepastian arah, bukan ketidakpastian yang justru mengorbankan pelayanan.
Kini, setelah M Nasir resmi dilantik, harapan besar kembali menggantung. Publik menaruh ekspektasi agar birokrasi Aceh bisa menemukan ritmenya. Mereka ingin reformasi birokrasi benar-benar berjalan, bukan sekadar slogan. Pembangunan diharapkan dapat dirasakan nyata, bukan hanya janji di atas kertas.
Penantian panjang itu memang telah berakhir. Namun, ujian sesungguhnya baru saja dimulai. Pertanyaan besar kini menggema, mampukah M Nasir mengembalikan marwah kursi sekda Aceh dan menjadikannya motor penggerak pembangunan yang membawa Aceh ke arah lebih kokoh? (XRQ)
Penulis: Akil