NUKILAN.id | Banda Aceh – Mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Suadi Sulaiman mendesak pemerintah menuntaskan sejumlah butir penting Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang masih tertunda implementasinya, terutama terkait distribusi lahan untuk eks kombatan dan korban konflik.
Pria yang akrab disapa Adi Laweung ini mengkritik keras kurangnya keseriusan pemerintah dalam menjalankan butir-butir kesepakatan damai 20 tahun silam. Menurutnya, masalah lahan, bendera Aceh, batas wilayah, dan kewenangan khusus hingga kini belum terselesaikan.
“Ini kendala serius yang tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita terus mendorong agar semua poin dalam MoU benar-benar dituntaskan. Perdamaian Aceh harus berkeadilan, bukan sekadar seremoni,” tegas Adi kepada Nukilan di Banda Aceh, Rabu (6/8/2025).
Adi menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menginventarisasi poin-poin yang belum dijalankan, baik dari MoU Helsinki maupun amanat Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Menurutnya, momentum revisi UUPA yang sedang berlangsung harus dimanfaatkan secara optimal untuk memperkuat semangat perjanjian damai, bukan hanya dijadikan sebagai proses administratif belaka.
“Dengan hadirnya kepemimpinan baru, Mualem dan Fadhullah, seharusnya ini jadi titik balik. Jangan sia-siakan harapan rakyat Aceh,” ujarnya .
Salah satu isu paling krusial yang disoroti Adi adalah penyelesaian distribusi lahan untuk mantan kombatan dan korban konflik yang dinilai belum maksimal. Bahkan menurutnya, masih banyak Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak dimanfaatkan namun tetap dikuasai, meskipun izin pengelolaannya telah kedaluwarsa.
“Kementerian ATR/BPN harus turun tangan. Lahan-lahan yang tidak difungsikan dan izinnya sudah habis harus ditindak tegas,” desak mantan kombatan ini.
Adi juga memberikan saran agar Kepala Kantor Wilayah BPN Aceh ke depan berasal dari putra daerah yang telah lulus seleksi nasional. Sosok yang ditunjuk, menurutnya, harus memahami dinamika lokal serta memiliki keberanian dan integritas dalam menjalankan mandat MoU.
“Putra daerah lebih tahu medan dan punya kedekatan komunikasi dengan KPA serta tokoh-tokoh lokal. Ini penting untuk mempercepat penyelesaian persoalan lahan,” jelasnya.
Bagi Adi, makna sejati dari perdamaian bukan hanya ketiadaan senjata, tetapi juga pemulihan hak, keadilan sosial, dan pengakuan atas kontribusi Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Perdamaian ini diperjuangkan dengan darah dan air mata. Jangan biarkan keadilan terus tertunda, karena itu sama saja menyangkal damai itu sendiri,” tutupnya,
Reporter: Rezi