78 Tahun Lalu, Agresi Militer Belanda I Pecah

Share

NUKILAN.ID | JAKARTA — Tepat 78 tahun lalu, pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I terhadap Indonesia. Serangan ini terjadi hampir dua tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, menandai fase awal dari konflik bersenjata antara dua negara yang berbeda pandangan soal kedaulatan.

Operasi militer yang dikomandoi Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook ini bertujuan menguasai kembali wilayah-wilayah strategis di Indonesia, terutama yang kaya akan sumber daya alam. Hal tersebut dilakukan demi mendukung pemulihan ekonomi Belanda yang porak-poranda akibat Perang Dunia II.

Menyasar Jawa dan Sumatera

Target utama agresi adalah Pulau Jawa dan Sumatera. Di Jawa Barat, serangan dilancarkan melalui dua divisi, yakni Divisi B pimpinan S. De Waal dan Divisi C di bawah komando Mayjen H.J.J.W. Durt Britt. Pasukan Belanda berhasil menembus pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di sektor Bandung Timur.

Keberhasilan serangan tersebut membuka mata TNI terhadap keterbatasan strategi pertahanan mereka. Persenjataan yang terbatas dan pasukan yang belum siap membuat strategi bertahan frontal sulit dipertahankan.

Belanda juga berhasil merebut Kota Cirebon. Menghadapi situasi ini, pasukan Siliwangi mulai menyusun ulang taktik pada akhir Agustus 1947, dengan memanfaatkan keunggulan geografis dan kemampuan perang gerilya.

Gerilya yang dilakukan pasukan Indonesia menyasar jalur logistik, pos penjagaan, dan jalan penghubung yang digunakan Belanda. Di Jawa Barat, serangan-serangan ini berhasil mengganggu kegiatan ekonomi Belanda, terutama di sektor perkebunan.

Dikutip Nukilan.id dari Jurnal Pendidikan Sejarah yang berjudul “Agresi Militer Belanda I di Bondowoso” Vol. 2(1), hlm. 1–13, serangan militer Belanda di berbagai wilayah juga memperlihatkan lemahnya kesiapan logistik militer Indonesia, namun sekaligus menumbuhkan semangat perlawanan rakyat secara lebih luas melalui strategi gerilya yang efektif.

PBB dan Tekanan Diplomatik

Tindakan militer Belanda mengundang perhatian internasional. India dan Australia membawa isu ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 31 Juli 1947. Hanya sehari berselang, PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan penghentian tembak-menembak dan mendorong penyelesaian melalui dialog damai.

Untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional, Presiden Soekarno menunjuk Sutan Sjahrir sebagai juru bicara dalam sidang Dewan Keamanan yang berlangsung pada 14 Agustus 1947. Sjahrir menyampaikan bahwa proses perundingan sulit dilakukan jika pasukan Belanda tetap bercokol di wilayah Indonesia.

Sutan Sjahrir mendesak agar Belanda menarik tentaranya untuk membuka jalan menuju dialog damai.

Amerika Serikat kemudian mengusulkan pembentukan Committee of Good Offices atau Komisi Jasa-Jasa Baik. Usulan ini diterima PBB pada 25 Agustus 1947 dan menjadi cikal bakal Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat.

Komisi Tiga Negara dan Perjanjian Renville

Komisi Tiga Negara dibentuk dengan representasi masing-masing pihak. Australia, yang diajukan Indonesia, diwakili Richard C. Kirby. Belgia, pilihan Belanda, diwakili Paul Van Zeeland. Sementara Amerika Serikat sebagai pihak netral diwakili Dr. Frank Porter Graham.

KTN berhasil mempertemukan kedua pihak dalam perundingan yang berlangsung di atas kapal perang Amerika, USS Renville, yang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan ini berjalan beberapa bulan dan menghasilkan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Perjanjian ini secara resmi menandai berakhirnya Agresi Militer Belanda I. Meskipun tak menyelesaikan seluruh permasalahan, keterlibatan Komisi Tiga Negara dan dukungan Dewan Keamanan PBB menjadi tonggak penting dalam internasionalisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia. (XRQ)

Reporter: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News