Skandal Chromebook: Ketika Digitalisasi Pendidikan Jadi Ladang Korupsi

Share

Nukilan | Jakarta – Skandal dugaan korupsi dalam proyek pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memasuki babak baru. Kasus ini tidak hanya menyeret nama sejumlah pejabat tinggi di lingkungan kementerian, tetapi juga mengarah pada potensi keterlibatan korporasi raksasa dunia, Google, melalui program co-investment yang belum pernah diungkap ke publik sebelumnya. Dengan nilai proyek mencapai lebih dari Rp9 triliun dan potensi kerugian negara yang ditaksir Rp1,98 triliun, kasus ini menjadi perhatian publik nasional.

Dalam penyelidikan terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut terlibat. Mereka membuka penyelidikan awal terkait dugaan korupsi dalam kerja sama Google Cloud di Kemendikbudristek.

“Ini masih lidik [tahap penyelidikan],” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dikutip dari CNN Indonesia pada Jumat (18/7/2025).

Menurut Asep, penyelidikan Google Cloud tidak bisa dilepaskan dari perkara pengadaan laptop Chromebook yang kini telah menyeret empat tersangka, yakni Jurist Tan, eks staf khusus Mendikbudristek, Ibrahim Arief, mantan konsultan teknologi, Sri Wahyuningsih, eks Direktur SD, dan Mulyatsyah, eks Direktur SMP. Keempatnya diduga terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek digitalisasi pendidikan yang dinilai sarat penyimpangan sejak awal.

Dimulai Sebelum Pelantikan

Skandal ini bermula dari perencanaan pengadaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk sekolah, yang disebut-sebut sudah mulai dirancang bahkan sebelum Nadiem Makarim dilantik sebagai menteri pendidikan. Dalam grup WhatsApp “Mas Menteri Core Team”, percakapan seputar proyek digitalisasi sudah berlangsung sejak Agustus 2019. Padahal, Nadiem baru resmi menjadi menteri pada Oktober tahun itu.

Desember 2019, Jurist Tan yang mewakili Nadiem bertemu dengan YK dari Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) untuk membicarakan pengadaan perangkat TIK dengan sistem operasi Chrome OS dari Google. Diskusi kemudian berlanjut dalam berbagai pertemuan, termasuk melalui Zoom meeting yang melibatkan keempat tersangka.

Jurist, meski hanya staf khusus, disebut aktif mengarahkan teknis pengadaan. Padahal, menurut aturan, staf khusus menteri tidak memiliki kewenangan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Arahan-arahan Jurist diduga kuat menjadi bagian dari rangkaian manipulasi perencanaan.

Intervensi dan Skema Investasi

Yang lebih mencurigakan, adalah temuan bahwa Google diduga melakukan skema co-investment sebesar 30 persen ke Kemendikbudristek. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa investasi itu muncul setelah Nadiem menemui pihak Google pada Februari hingga April 2020. Pertemuan tersebut membahas rencana pengadaan Chromebook dalam proyek digitalisasi.

“Dari hasil penyelidikan, terdapat perjanjian co-investment sebesar 30 persen dari Google kepada Kemendikbud,” ungkap Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Selasa (15/7/2025).

Menurut penelusuran Kejagung, anggaran proyek pengadaan laptop sebesar Rp9,3 triliun itu terdiri dari dana APBN senilai Rp3,6 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp5,6 triliun. Laptop sebanyak 1,2 juta unit didistribusikan ke sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem operasi Chrome OS, mengarah pada dominasi satu vendor tanpa melalui kajian terbuka atau kompetisi sehat.

Dalam pelaksanaan proyek, ditemukan indikasi kuat adanya intervensi langsung terhadap pejabat pembuat komitmen (PPK). Qohar menjelaskan bahwa pada 30 Juni 2020, dalam sebuah pertemuan di Hotel Arosa, Jakarta Selatan, Sri Wahyuningsih memerintahkan Bambang Hadi Waluyo selaku PPK untuk memilih pengadaan laptop berbasis Chrome OS sesuai perintah Nadiem.

Namun karena Bambang dianggap tidak mampu mengeksekusi perintah tersebut, ia langsung diganti oleh Wahyu Haryadi pada hari yang sama.

“Pada tanggal yang sama, 30 Juni 2020, SW mengganti Bambang Hadi Waluyo sebagai PPK dengan PPK yang baru bernama Wahyu Haryadi karena Bambang dianggap tidak mampu melaksanakan perintah NAM (Nadiem),” kata Qohar, dikutip Detik, Rabu (16/7/2025).

Selain penggantian PPK, metode pengadaan juga diubah dari e-katalog menjadi SIPLAH (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah), sebuah platform yang selama ini banyak dikritik karena pengawasan yang lemah dan rawan manipulasi. Perubahan ini dilakukan tanpa dasar teknis yang kuat.

SW dan MUL kemudian diduga membuat petunjuk pelaksanaan dan teknis pengadaan 2021–2022 yang secara eksplisit mengarahkan penggunaan Chrome OS, mengabaikan pilihan sistem lain yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan sekolah-sekolah di Indonesia.

Mangkir dari Pemeriksaan

Salah satu tokoh kunci dalam kasus ini, Jurist Tan, sejauh ini belum memenuhi panggilan penyidik Kejagung. Jurist, yang diketahui berada di luar negeri, beberapa kali meminta agar diperiksa secara online—permintaan yang ditolak oleh penyidik.

“Konfirmasi dari penyidik, per tanggal 15 (Juli 2025) kemarin sudah terjadwal pemanggilan terhadap yang bersangkutan sebagai tersangka untuk hadir di hari ini, tanggal 18 Juli 2025,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, dikutip Kompas, Jumat (18/7/2025).

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Jurist sudah dua kali tidak hadir dalam jadwal pemeriksaan. Ia berdalih memiliki kesibukan dan meminta penjadwalan ulang. Namun saat dijadwalkan ulang pada 17 Juni, ia tetap tidak hadir. Setelah resmi menjadi tersangka, Kejaksaan mulai melakukan pendekatan tegas dan menyiapkan proses penetapan Jurist sebagai buron atau DPO.

Keterlibatan Nadiem

Nama mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, berkali-kali muncul dalam konstruksi perkara. Namun hingga kini, Kejagung belum menetapkannya sebagai tersangka. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyebut pihaknya masih mendalami dulu kasus ini.

“Penyidik lagi mendalami dulu sampai cukup barang bukti yang kuat,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu (19/7/2025).

Anang menekankan bahwa penetapan tersangka harus dilakukan secara hati-hati, apalagi terhadap mantan pejabat tinggi negara. Pernyataan itu muncul di tengah kritik publik yang membandingkan penanganan kasus Nadiem dengan Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang telah divonis dalam kasus impor gula meski tidak terbukti menikmati uang korupsi.

“Kami tidak berdasarkan kepada opini-opini, tapi berdasarkan fakta-fakta hukum,” tambah Anang.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga sudah mendesak Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan dalam rangka menelusuri dugaan keterlibatan berbagai pihak yang berwenang dalam pengadaan, seperti PPK, kuasa pengguna anggaran, dan pengguna anggaran atau Menteri Nadiem Makarim. ICW juga meminta Kejaksaan Agung memperjelas informasi dugaan korupsi laptop Kemendikbud, termasuk didalamnya mengenai bentuk korupsi hingga taksiran dugaan kerugian negara.
Selain itu, ICW mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melakukan evaluasi dan mengumumkan kepada publik mengenai distribusi pengadaan laptop dan analisis atas hasil dan capaian program digitalisasi pendidikan 2019-2024.

“Menggunakan anggaran negara, kementerian ini -terlepas dari menteri atau pimpinannya telah berganti- mempunyai kewajiban untuk melakukan evaluasi kebijakan dan akuntabilitas kepada publik,” tulis ICW dalam keterangannya, Kamis (5/6/2025).

Digitalisasi Tanpa Transparansi

Kasus ini kembali menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai program digitalisasi pendidikan yang selama ini digadang-gadang pemerintah. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, proyek besar ini justru membuka peluang korupsi, pengadaan tidak transparan, serta dominasi vendor tunggal yang berisiko membebani negara dan mencederai kepentingan publik.

Dengan total kerugian negara yang diperkirakan hampir Rp2 triliun, skandal Chromebook bukan hanya soal pengadaan perangkat, tetapi cermin dari kegagalan sistemik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek strategis nasional.

Banyak sekolah yang mengeluhkan laptop tidak sesuai spesifikasi, sulit dioperasikan oleh guru, hingga tidak kompatibel dengan kebutuhan kurikulum. Di sisi lain, ribuan siswa tetap tertinggal akses digital meskipun miliaran rupiah telah digelontorkan.

Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa transformasi digital di sektor pendidikan harus disertai dengan transparansi, akuntabilitas, dan pelibatan publik. Tanpa itu, teknologi hanya menjadi topeng baru dari praktek lama: penyalahgunaan wewenang dan uang rakyat. []

Reporter: Sammy

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News