Yusril Dukung Daud Beureueh Jadi Pahlawan Nasional

Share

NUKILAN.ID | BANDA ACEH — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan dukungannya terhadap usulan masyarakat Aceh agar Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Pernyataan itu disampaikan Yusril saat memberikan pidato kunci dalam Seminar Nasional Teungku Daud Beureueh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Kamis malam (10/7/2025). Dalam kesempatan tersebut, Yusril menekankan pentingnya meninjau ulang sejarah Aceh dan kiprah tokoh penting seperti Daud Beureueh yang menurutnya memiliki jasa besar bagi Republik Indonesia.

“Tidak semua tokoh di Aceh gembira dengan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sebagian ingin Aceh menjadi negara sendiri, sebagian malah ingin tetap di bawah penjajahan Belanda. Daud Beureueh berjuang habis-habisan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI baik secara politik, militer, maupun diplomasi,” tegas Yusril.

Ia menjelaskan, pada masa Revolusi, Presiden Soekarno menyetujui usulan Daud Beureueh agar Aceh menjadi provinsi tersendiri dengan keistimewaannya. Kala itu, Daud Beureueh pun diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, dengan pangkat tituler Mayor Jenderal TNI.

Namun, pembentukan Provinsi Aceh melalui Keputusan Darurat Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara belakangan ditolak oleh KNIP dan Menteri Dalam Negeri Susanto Tirtoprodjo. Akibatnya, Aceh digabungkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara.

“Celakanya, pencabutan Keputusan Darurat Wakil Perdana Menteri Sjafruddin itu harus dilaksanakan oleh Perdana Menteri RI yang baru, Mohammad Natsir, padahal baik Sjafruddin, Natsir, maupun Daud Beureueh semuanya adalah tokoh Partai Masyumi,” jelas Yusril.

Yusril mengungkapkan, dalam wawancaranya dengan Mohammad Natsir pada 1982, Natsir mengisahkan bahwa ia sempat datang ke Aceh untuk membujuk Daud Beureueh agar tidak melakukan perlawanan. Namun upaya itu terlambat karena Daud Beureueh telah lebih dahulu menyatakan pembangkangan terhadap pemerintah pusat dan masuk hutan.

“Natsir terlambat sehari datang ke Aceh karena putrinya meninggal tenggelam di Kolam Renang Cikini,” ungkap Yusril.

Saat mendarat di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), Natsir menyampaikan pidato di hadapan masyarakat dan menitipkan pesan agar Daud Beureueh menahan diri. Pesan itu disampaikan melalui Osman Raliby, namun jawaban Daud Beureueh sangat tegas: “nasi sudah menjadi bubur.”

Meskipun Provinsi Aceh kembali dibentuk secara resmi pada 1956, kepercayaan Daud Beureueh terhadap pemerintah pusat telah luntur. Beliau kemudian memimpin gerakan DI/TII Aceh yang pada tahun 1958 menyatakan bergabung dengan PRRI dan Permesta.

Namun demikian, Yusril menegaskan bahwa gerakan tersebut tidak semestinya dilihat semata-mata sebagai pemberontakan.

“Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureueh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republiken yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat,” ujar Yusril.

Ia juga mencontohkan dua tokoh Masyumi lainnya, Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang sempat dicap pemberontak oleh rezim Orde Lama dan Orde Baru, namun akhirnya mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

“Beliau adalah pejuang RI sejati, jasa-jasanya tak ternilai bagi bangsa dan negara, sehingga sudah saatnya beliau diangkat menjadi Pahlawan Nasional,” tegas Yusril.

Menurutnya, peninjauan kembali atas sejarah tokoh-tokoh seperti Daud Beureueh sangat penting agar bangsa ini tidak terus-menerus mengulang kekeliruan penilaian masa lalu.

“Beliau bukan pemberontak, melainkan tokoh yang ingin menjaga kehormatan dan janji-janji Republik,” pungkasnya.

Yusril berharap, ke depan pemerintah pusat dapat mengambil langkah serupa dalam memberikan penghormatan kepada Teungku Muhammad Daud Beureueh seperti halnya kepada Natsir dan Sjafruddin.

Editor: Akil

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Read more

Local News