NUKILAN.ID | OPINI – Kasus dugaan keterlibatan eks Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, dalam bisnis gelap judi online, menyingkap borok kekuasaan yang jauh lebih besar dari sekadar aib personal. Ini bukan kasus individu. Ini adalah fragmen dari kejahatan terorganisasi yang merasuk dalam tubuh negara.
Pola kejahatannya terang-benderang. Ada sistem, struktur, dan simbiosis antara pejabat publik dengan pengusaha ilegal. Dari hasil investigasi yang telah diungkap ke publik, setidaknya selama Januari hingga Oktober 2024, lebih dari 24 ribu situs judi online dilindungi oleh jaringan dalam Kementerian Komunikasi—yang kini berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital—agar tak diblokir. Padahal, kementerian inilah yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas konten ilegal dan merusak seperti judi online.
Imbalannya? Uang setoran miliaran rupiah yang mengalir rutin setiap bulan. Berdasarkan dakwaan jaksa, kelompok ini meraup sedikitnya Rp219,81 miliar. Uang itu dibagi-bagi: 20 persen untuk Adik Kismanto (orang dekat Budi Arie), 30 persen untuk Zulkarnain, dan separuhnya—Rp109 miliar—diduga mengalir ke Budi Arie sendiri.
Yang paling mencengangkan bukan hanya nilai uangnya, tapi bagaimana sistem ini berjalan begitu terstruktur, rapi, dan dilindungi oleh aparat negara. Salah satu pengumpul setoran, Zulkarna alias Tony, bahkan diketahui pernah menyimpan sebagian uang itu di ruangan menteri atas sepengetahuan sang tuan rumah. Sulit membantah fakta yang terang seperti siang hari bolong.
Namun, cerita ini belum usai. Besar kemungkinan, aliran dana judi tidak hanya mampir ke meja menteri dan anak buahnya. Dalam praktik mafia digital seperti ini, aliran dana bisa menembus ruang-ruang politik yang paling gelap: pembiayaan kampanye, pembelian loyalitas politik, hingga suap untuk menjamin kelangsungan bisnis.
Indikasi ini semakin kuat jika kita mencermati lonjakan transaksi judi online. Data terakhir menunjukkan, nilai deposit pemain pada 2023 mencapai Rp51,3 triliun, naik tajam dari Rp31,5 triliun pada 2022. Uang yang berputar tahun lalu bahkan mencapai Rp981 triliun, dan tahun ini diperkirakan menembus Rp1.200 triliun. Perputaran uang sebesar ini jelas bukan sekadar untuk menyuap pejabat kelas menengah. Ini skala industri, dengan jaringan perlindungan yang menyentuh elit politik dan penegak hukum.
Maka tak mengherankan jika selama ini penegakan hukum terhadap judi online cenderung tebang pilih. Polisi hanya menyasar pemain kecil atau bandar lokal, sementara nama-nama besar tetap bebas berkeliaran, bahkan kadang tampil percaya diri dalam forum-forum resmi. Bukti nyata betapa besar kekuasaan uang dalam membungkam hukum.
Tempo pernah melakukan liputan mendalam ke Kamboja dan menemukan bahwa banyak bisnis judi online yang menargetkan pasar Indonesia dikendalikan oleh pengusaha asal Indonesia sendiri. Ini menunjukkan bahwa sindikat ini telah melintasi batas negara dan menjadi kejahatan lintas yurisdiksi yang membutuhkan penanganan serius.
Bukan rahasia lagi bahwa uang dari bandar judi juga kerap dipakai untuk membiayai aktivitas politik. Ketika kasus pembunuhan Brigadir J yang menyeret Irjen Ferdy Sambo mencuat, isu setoran dari bandar judi juga ikut terangkat. Sambo bahkan disebut-sebut sebagai kolektor dana dari para bandar.
Kini, giliran Budi Arie yang berada di pusaran skandal. Sebagai mantan aktivis dan tokoh publik, ia tidak boleh bungkam. Jika memang ingin membongkar kebusukan sistem ini, sebutlah nama-nama yang lebih besar. Sebelumnya, kepada wartawan, ia sempat menyebut nama menteri dan partai politik yang diduga ikut “menggoreng” kasusnya. Ini saatnya membuka semua tabir—siapa saja yang menerima uang judi, siapa yang menggunakan dana itu untuk pemenangan pemilu, dan siapa pula yang memberikan perlindungan hukum.
Penyelesaian kasus ini tidak bisa setengah hati. Kejahatan berjaringan seperti ini butuh pendekatan luar biasa. Tak cukup dengan menjerat menteri dan koleganya, tapi juga menelusuri jejak uang hingga ke para penerima manfaat sebenarnya. Sebab, selama para aktor besar di balik judi online ini masih dilindungi, maka kita hanya akan melihat sandiwara hukum yang berulang dari tahun ke tahun.
Untuk memberantas judi online, kita butuh TJTB—Tak Jadi Tapi Bersih. Mati satu, mati semua. Jangan hanya korban kecil yang ditumbalkan. Negara harus hadir dengan keberanian, bukan menjadi bagian dari jaringan. Jika tidak, bukan hanya hukum yang dipermalukan, tapi masa depan demokrasi kita dipertaruhkan. (XRQ)
Penulis: Akil