NUKILAN.ID | SEMARANG — Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Walisongo Semarang sukses menggelar The 3rd International Conference on Democracy and Social Transformation (ICON-DEMOST) pada Kamis, 3 Juli 2025. Konferensi bertaraf internasional ini mengangkat tema “Rethinking Democracy and Humanity Amidst the Discourse of Sustainable Development in Artificial Intelligence Era” dan berlangsung secara luring di Ruang Teatrikal, Gedung Kyai Saleh Darat (Rektorat) Lantai 4, Kampus III UIN Walisongo.
Kegiatan ini merupakan forum ilmiah dua tahunan yang diselenggarakan FISIP UIN Walisongo bekerja sama dengan Center for Political and Social Studies (CPolSIS), Jurnal Sosiologi Walisongo (JSW), dan Jurnal Politik Walisongo (JPW). Konferensi dibagi ke dalam sesi pleno dan sesi paralel, serta menghadirkan peserta dari kalangan dosen, mahasiswa, peneliti, dan praktisi dalam dan luar negeri.
Lima narasumber utama turut hadir dalam forum ini, yakni Prof. Petter Suwarno dan Prof. Souad T. Ali dari Arizona State University, USA; Prof. Edward Aspinall dari Australian National University, Australia; Prof. Andy Fefta Wijaya dari Universitas Brawijaya, Indonesia; dan Prof. Misbah Zulfa Elizabeth dari UIN Walisongo, Indonesia.
Dekan FISIP UIN Walisongo, Prof. Imam Yahya, dalam sambutannya menyebut tema konferensi ini sangat relevan dengan situasi saat ini.
“Demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan juga instrumen penting dalam mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif,” ujar Prof. Imam. Ia berharap forum ini dapat menghasilkan gagasan strategis menghadapi tantangan global.
Rektor UIN Walisongo, Prof. Nizar, secara resmi membuka konferensi. Ia mengapresiasi penyelenggaraan ICON-DEMOST sebagai wujud penguatan tradisi akademik dan jejaring global kampus.
“Semoga kegiatan ini melahirkan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Sesi pleno dimulai dengan paparan Prof. Petter Suwarno yang mengangkat tema wacana dan gerakan politik Islam di Indonesia. Ia menyoroti bahwa gerakan tersebut belum mampu menghadirkan keadilan sosial-ekonomi bagi mayoritas umat Islam. Ia juga mengulas peran konservatisme Islam di masa Orde Baru yang tidak diiringi transparansi dan akuntabilitas.
“Political Islamic Discourses & Movements di Indonesia belum berhasil mewujudkan keadilan sosial-ekonomi bagi mayoritas umat Islam,” ungkap Prof. Suwarno.
Selanjutnya, Prof. Souad T. Ali membawakan materi bertajuk “Empowering Women in the AI Era: Gender Equity and Sustainable Development”. Ia menekankan pentingnya peran perempuan dalam dunia AI dan pembangunan berkelanjutan.
“Addressing the underrepresentation of women in AI research, leadership, and technical roles is crucial to unlock more ethical, unbiased, and innovative solutions,” katanya. Ia juga menambahkan, “Leveraging AI to address global challenges, with women’s participation, ensures inclusive and sustainable solutions.”
Prof. Edward Aspinall menyampaikan pandangan terkait kemunduran demokrasi di Indonesia dalam sesi berikutnya. Ia menyebut penurunan kualitas demokrasi telah menjadi perhatian luas berbagai kalangan.
“This decline is widely acknowledged by civil society actors, intellectuals, and even elite politicians within Indonesia,” ujarnya. Hal ini, kata dia, tercermin dalam berbagai indeks demokrasi internasional.
Pada sesi selanjutnya, Prof. Andy Fefta Wijaya membahas pentingnya reformasi kebijakan yang inklusif. Ia menjelaskan, “Inclusive policy reform means providing equal access to opportunities and resources for people who might otherwise be excluded or marginalized, such as those with physical or mental disabilities and members of other minority groups.”
Ia juga menekankan pentingnya akuntabilitas dan desentralisasi dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. “A well-informed society and organized civil society will significantly help in assessing the performance of public institutions,” tambahnya.
Prof. Misbah Zulfa Elizabeth mengakhiri sesi dengan pemaparan risetnya terkait kiprah legislator perempuan senior. Meski begitu, ia mengakui keterbatasan dalam cakupan penelitian.
“This study focuses primarily on senior female legislators who have already earned a degree of legitimacy and power, potentially excluding the voices of younger or marginalized women in politics,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya studi lanjutan yang mengeksplorasi dimensi interseksional dan persepsi masyarakat atas agenda politik yang dipimpin perempuan. “There is a need for studies that integrate citizens’ perceptions of women-led legislative agendas to understand how these subtle forms of influence are received beyond the halls of power.”
Melalui konferensi ini, beragam perspektif tentang demokrasi, transformasi sosial, kesenjangan gender, serta tantangan AI diulas secara mendalam. FISIP UIN Walisongo berharap ICON-DEMOST dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang demokratis, adil, dan berkelanjutan.
Editor: Akil