NUKILAN.ID | JAKARTA —Tanggal 4 Juni menandai langkah penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Di tengah ancaman agresi militer Belanda dan suasana revolusi yang belum reda, pemerintah Indonesia mengambil keputusan strategis dengan membentuk Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Melalui Penetapan Pemerintah No. 6/SD/1947, BP-KNIP dibentuk pada 4 Juni 1947 sebagai respons atas kurang efisiennya kerja KNIP dalam sidang pleno yang melibatkan ratusan anggota. Keberadaan badan ini menjadi jawaban atas kebutuhan mendesak akan kelembagaan yang lebih ramping namun tetap efektif dalam menjalankan fungsi legislatif sementara.
Solusi di Tengah Kekacauan Revolusi
Dikutip Nukilan.id dari buku Nationalism and Revolution in Indonesia, sejarawan George McTurnan Kahin mencatat bahwa KNIP sebagai badan legislatif sementara terlalu besar untuk mengambil keputusan cepat. Situasi darurat menuntut adanya badan yang bisa bergerak sigap dalam menyikapi dinamika politik dan ancaman militer Belanda.
“The Working Committee (Badan Pekerja) was established to handle the day-to-day legislative functions of the KNIP, as the full committee was too large for effective decision-making during the critical early years of the revolution,” tulis Kahin (hlm. 278).
Dengan kata lain, BP-KNIP menjadi semacam “parlemen kecil” yang bisa bergerak lincah di tengah kondisi negara yang belum stabil.
Tugas Strategis: Merancang UU dan Mengawasi Pemerintahan
Berdasarkan dokumen resmi dari Arsip Nasional RI (1947) yang dikompilasi dalam Undang-Undang dan Ketetapan Pemerintah 1945–1949, BP-KNIP diberi mandat penting: membahas rancangan undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan memberikan pertimbangan kepada Presiden sebelum pengambilan keputusan di sidang pleno KNIP.
Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 menyebut BP-KNIP sebagai badan yang sangat aktif dan berpengaruh pada masa awal kemerdekaan.
“BP-KNIP menjadi semacam ‘parlemen kecil’ yang aktif merumuskan kebijakan, sementara KNIP pleno hanya bersidang untuk hal-hal penting,” tulis Ricklefs (hlm. 421).
Pilar Legislasi di Masa Transisi
Lebih dari sekadar lembaga administratif, BP-KNIP menjadi poros dalam merumuskan berbagai kebijakan darurat. Sekretariat Negara RI dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menegaskan bahwa BP-KNIP turut berperan besar dalam mengisi kekosongan hukum di awal kemerdekaan.
“Badan Pekerja KNIP memainkan peran kunci dalam mengisi kekosongan hukum di awal kemerdekaan, termasuk merancang UU darurat saat Agresi Militer Belanda,” tulis publikasi tersebut.
Dengan mandat tersebut, BP-KNIP menjelma sebagai ruang kompromi, diskusi, dan penentu arah bangsa dalam masa-masa genting.
Warisan Konstitusional yang Terlupakan
Meski tak setenar sidang-sidang revolusioner lainnya, keberadaan BP-KNIP justru menjadi tonggak penting pembentukan sistem ketatanegaraan yang lebih fungsional. Ia adalah cikal bakal kerja parlemen modern Indonesia, yang bergerak tidak hanya secara seremonial, tapi juga substantif dalam mengawal roda pemerintahan.
BP-KNIP memang telah lama dibubarkan seiring bergulirnya sistem demokrasi parlementer dan pembentukan lembaga legislatif formal. Namun, jejaknya tetap tercatat sebagai bagian dari sejarah pergulatan bangsa dalam mengukuhkan kedaulatan dan membangun sistem pemerintahan yang berpihak pada rakyat.
Hari ini, 4 Juni, kita mengingat kembali bagaimana dalam keterbatasan dan ancaman, para pendiri bangsa tidak hanya berpikir tentang mempertahankan kemerdekaan, tapi juga merancang sistem pemerintahan yang efisien, responsif, dan demokratis.
BP-KNIP bukan sekadar institusi teknis. Ia adalah simbol kegigihan bangsa untuk membangun sistem, bahkan ketika peluru masih menyalak di medan tempur. (XRQ)
Reporter: Akil