NUKILAN.ID | Banda Aceh – Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) menilai upaya revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan langkah penting dan strategis. Langkah ini dinilai relevan dengan perkembangan politik Aceh dan nasional saat ini, serta krusial untuk memperjelas kekhususan Aceh sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian damai Helsinki.
Koordinator Program ACSTF, Novi, menyampaikan pandangan tersebut dalam keterangan resminya, Sabtu (25/5/2025), menyikapi paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 21 Mei lalu yang menetapkan usulan revisi UUPA dan telah mengirimkannya ke DPR RI dua hari kemudian.
Menurut Novi, ACSTF menyambut baik keputusan DPRA yang semula mengusulkan 18 pasal untuk direvisi, namun dalam draft akhirnya hanya mengubah 8 pasal dan menambahkan satu pasal baru.
Meski demikian, Novi menekankan pentingnya keterbukaan informasi terhadap isi perubahan tersebut. Menurutnya, publik harus memahami arah dan semangat dari revisi ini agar pelaksanaan UUPA dapat lebih efektif ke depan.
“Pemerintah Aceh terutama aparatur pemerintah Aceh bertindak jauh dari mentalitas bahwa Pemerintah Aceh memiliki kekhususan daripada provinsi lainnya di Negara Republik Indonesia ini,” jelas Novi.
Lebih lanjut, Novi mengingatkan agar semangat revisi tidak sekadar mengejar perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus). Ia menilai, orientasi fiskal semata dapat melalaikan elite politik dan birokrasi dari tujuan utama: memperbaiki kualitas hidup rakyat.
Menurutnya, selama 19 tahun pelaksanaan UUPA, alokasi dana Otsus tidak berdampak signifikan karena penggunaannya yang tidak tepat sasaran.
“Namun, kita harapkan pengelolaan dana Otsus ke depan dapat diarahkan pada pengembangan Sumber Daya Manusia Aceh dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh dengan menitikberatkan sektor riil,” ujar Novi.
Ia menambahkan, penguatan infrastruktur dan hilirisasi hasil produksi pertanian dinilai penting agar tata niaga Aceh tumbuh lebih cepat. Pasalnya, selama ini sektor pertanian memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian daerah.
“Ingat, selama 19 tahun terakhir, sektor pertanian berkontribusi tinggi dalam pertumbuhan ekonomi Aceh, menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran, karena 70 persen penduduk Aceh tinggal di pedesaan dan petani,” lanjutnya.
Dalam konteks implementasi UUPA ke depan, ACSTF mengusulkan delapan poin penting yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, memperluas partisipasi publik dalam pembangunan. Kedua, memperkuat transparansi pengelolaan dana Otsus.
Ketiga, menjalankan penyelesaian sengketa berbasis masyarakat adat. Keempat, merevisi Pasal 15 dan 23 UUPA untuk mempertegas hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Kelima, mewajibkan keterbukaan dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk izin tambang dan perkebunan.
Keenam, menyempurnakan mekanisme resolusi konflik pertanahan dengan melibatkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA). Ketujuh, melindungi hak kepemilikan tanah perempuan, terutama dalam konteks warisan. Dan terakhir, menegakkan sanksi pidana bagi korporasi yang merampas tanah atau merusak lingkungan.
ACSTF menilai, ketegasan kewenangan Aceh perlu didukung oleh penguatan produk legislasi daerah seperti qanun. Oleh karena itu, proses revisi UUPA harus dikawal dengan melibatkan berbagai pihak.
“ACSTF melihat ini sebagai kemajuan signifikan, tapi ini baru awal,” ujar Novi.
Ia pun berharap agar DPR Aceh, anggota DPR/DPD RI dari Aceh, dan Pemerintah Aceh benar-benar mengawal proses pembahasan revisi UUPA di tingkat nasional. Terlebih, pengalaman advokasi tahun 2005-2006 membuktikan pentingnya peran masyarakat sipil.
“Maka DPR Aceh dapat memimpin pengawalan ini dengan melibatkan pula organisasi masyarakat sipil Aceh, karena kekuatan OMS dengan jaringan di luar institusi politik dapat menjadi daya pengaruh alternatif dalam meyakinkan Pemerintah Nasional,” tutup Novi.