NUKILAN.ID | BANDA ACEH – Setiap tanggal 17 Mei, Indonesia memperingati Hari Buku Nasional (Harbuknas)—sebuah momentum penting untuk menumbuhkan minat baca dan menguatkan budaya literasi di tengah masyarakat. Tapi tahukah Anda, mengapa tanggal ini yang dipilih? Jawabannya membawa kita kembali ke tahun 1980, tepatnya pada hari peresmian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
Peringatan Harbuknas secara resmi ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2002, yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Abdul Malik Fadjar. Pemilihan tanggal 17 Mei bukan tanpa alasan—hari itu bertepatan dengan berdirinya Perpusnas di Jakarta, sebuah institusi yang menjadi tonggak penting dalam pembangunan ekosistem literasi nasional.
Mengapa Buku?
Penetapan Hari Buku Nasional menjadi bagian dari upaya pemerintah menjawab tantangan besar dalam dunia literasi. Dikutip Nukilan.id dari laporan PISA 2018 Results: Combined Executive Summaries, kemampuan membaca siswa Indonesia masih berada di peringkat bawah dibandingkan negara-negara lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa literasi belum menjadi budaya yang mapan di tanah air.
Melalui Harbuknas, berbagai lembaga pendidikan, komunitas literasi, hingga penerbit berupaya menggeliatkan kembali semangat membaca di tengah masyarakat. Beragam kegiatan rutin digelar setiap tahun, seperti pameran buku, diskusi sastra, peluncuran buku, hingga kampanye donasi buku ke daerah-daerah pelosok.
Jejak Panjang Perpusnas
Sejarah Perpusnas sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari peringatan ini. Dikutip dari artikel “Sejarah Perpustakaan Nasional”, Perpusnas adalah hasil penggabungan dari empat perpustakaan besar di Indonesia: Perpustakaan Museum Nasional, Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Perpustakaan Wilayah DKI Jakarta, serta Perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penggabungan tersebut bukan sekadar teknis, melainkan simbol penyatuan pengetahuan nasional. Perpusnas dirancang sebagai pusat dokumentasi, pelestarian, dan akses terhadap koleksi pustaka nasional. Seiring waktu, institusi ini berkembang menjadi rujukan penting bagi para peneliti, pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum.
Bukan Sekadar Seremonial
Meski Harbuknas kerap dirayakan secara simbolis, tantangan nyata yang dihadapi Indonesia dalam bidang literasi memerlukan lebih dari sekadar seremoni tahunan. Harbuknas menjadi pengingat bahwa buku tetap relevan sebagai jendela dunia, terlebih di tengah arus digital yang kerap membuat bacaan fisik tergeser oleh layar gawai.
Melalui momentum ini, pemerintah dan masyarakat diharapkan terus memperjuangkan akses buku yang merata, perpustakaan yang hidup, serta semangat membaca yang tumbuh sejak dini.
Sebagaimana yang diyakini banyak pegiat literasi, membaca bukan hanya soal kemampuan, tapi juga budaya yang mesti dibangun bersama. (XRQ)
Reporter: AKil