NUKILAN.id | Banda Aceh — Pemulihan pasca konflik di Aceh hingga kini masih menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama menyangkut aspek psikologis para korban. Hal ini disampaikan oleh Yuliati, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Reparasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dalam podcast SagoeTv beberapa waktu lalu.
Dalam pernyataannya, Yuliati menekankan bahwa aspek pemulihan psikologis merupakan kebutuhan paling mendesak yang dirasakan korban konflik hingga saat ini.
“Bicara pemulihan, sebenarnya kalau kita mau melihat dari situasi korban saat ini yang paling besar kebutuhannya adalah pemulihan psikologis,” kata Yuliati dikutip Nukilan.id pada (8/5/2025)
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil temuan KKR Aceh, sebagian besar korban yang telah memberikan pernyataan kepada lembaga tersebut masih mengalami trauma mendalam akibat kekerasan yang mereka alami di masa lalu.
“Karena harus kita akui, hasil temuan KKR itu hampir 70% dari korban yang kita ambil pernyataan itu masih mengalami trauma,” ujarnya.
Trauma yang dialami oleh para korban bukan hanya bersifat ringan, melainkan cukup parah hingga memengaruhi kehidupan sehari-hari. Menurut Yuliati, banyak korban masih menyimpan ketakutan bahkan terhadap simbol-simbol tertentu dan bunyi-bunyian yang menyerupai ledakan.
“Jadi masih ada rasa takut, masih ada rasa marah, masih ada rasa takut dengan simbol-simbol tertentu atau dia terkejut dengan bunyi-bunyi ledakan, itu masih dialami oleh korban,” ungkapnya.
Meskipun berbagai program reparasi telah diinisiasi oleh sejumlah Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Yuliati menilai bahwa pelaksanaannya di lapangan belum berjalan optimal. Ia menyoroti bahwa kendala utama bukan terletak pada teknis pelaksanaan, melainkan pada lemahnya dukungan kebijakan dari pemerintah.
“Program-program reparasi itu sebenarnya hampir di semua SKPA itu ada. Hanya saja, saya menyampaikan lagi kalau di lapangan mungkin memang bukan kendala,” katanya.
Di tengah besarnya harapan dari para korban agar hak-hak mereka dapat dipulihkan, Yuliati menyayangkan kurangnya keberpihakan pemerintah dalam bentuk regulasi khusus yang menjadi payung hukum pelaksanaan reparasi secara menyeluruh.
“Memang besar harapan korban supaya ini bisa terwujud, tetapi secara dukungan (pemerintah) justru yang tidak ada. Kayak tadi saya bilang, enggak ada regulasi aturan yang khusus,” tutup Yuliati.
Pernyataan ini menegaskan bahwa tanpa dukungan kebijakan yang konkret dari pemerintah, pemulihan menyeluruh bagi korban konflik Aceh hanya akan menjadi wacana tanpa realisasi. (XRQ)
Reporter: Akil