NUKILAN.id | Banda Aceh — Bupati Aceh Besar, Muharram Idris atau yang akrab disapa Syech Muharram, menyoroti maraknya praktik adat pertunangan yang menampilkan pasangan duduk bersanding di pelaminan, meski belum menjadi pasangan suami istri secara sah. Tradisi yang mulai menjamur di berbagai wilayah Aceh, terutama di Aceh Besar, dinilai bertentangan dengan syariat Islam.
“Ini jelas bukan bagian dari syariat dan bertentangan dengan hukum Islam. Kebenaran harus ditegakkan agar adat yang keliru tidak terus berkembang,” ujar Syech Muharram saat memberikan sambutan dalam kegiatan sosialisasi fatwa dan hukum Islam dalam program Ulama Saweu Gampong (USG) di Gampong Lam Geu Ue, Kecamatan Peukan Bada, Rabu (7/5/2025) lalu.
Menindaklanjuti fenomena tersebut, Syech Muharram menginstruksikan kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Besar agar menghadirkan pengajian rutin mingguan di setiap kecamatan. Tujuannya adalah untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap syariat Islam dan meluruskan adat yang dinilai telah keluar dari rel keislaman.
Sikap tegas Bupati Aceh Besar ini mendapatkan apresiasi dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari Dr. Masrizal, Sosiolog Aceh, yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menjaga kemurnian nilai-nilai budaya Aceh yang bersandar pada ajaran Islam.
“Apa yang diterapkan di Aceh Besar menurut saya sudah cukup baik,” kata Dr. Masrizal kepada Nukilan.id, Selasa (13/5/2025).
Menurut Sekjend Ikatan Sosiolog Indonesia Aceh tersebut, perhatian seorang kepala daerah terhadap praktik pertunangan yang menyimpang merupakan langkah maju dalam meluruskan pemahaman masyarakat akan adat dan agama.
“Kita bisa melihat bagaimana seorang bupati mulai memberikan perhatian dan masukan terhadap prosesi pertunangan, khususnya menyangkut hal-hal yang akhir-akhir ini mulai menyimpang dari praktik adat istiadat Aceh,” lanjutnya.
Ia juga menekankan pentingnya memahami pernikahan dari sudut pandang sosiologis, bukan hanya sekadar hubungan dua individu, melainkan bagian dari sistem sosial yang lebih luas.
“Jika kita melihat dari aspek sosiologis, pernikahan bukan sekadar menyatukan laki-laki dan perempuan. Dalam masyarakat Aceh, perempuan sangat dijunjung tinggi, sebagaimana halnya dalam ajaran Islam,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dr. Masrizal menilai perlunya pelestarian dan penguatan kearifan lokal dalam setiap prosesi pernikahan agar tidak tercabut dari akar budaya dan norma yang telah lama hidup dalam masyarakat.
“Kita hidup di bawah aturan dan norma yang mengatur hubungan antara suami dan istri, bahkan setelah menikah sekalipun. Maka dari itu, penting bagi kita untuk kembali menghidupkan kearifan lokal,” tegas Masrizal yang juga Kabid Agama dan Sosial Budaya FKPT Aceh. (XRQ)
Reporter: Akil